Fans Page Facebook http://imankatolik.or.id

imankatolik.or.id on Facebook

Selasa, 10 November 2009

10 Nov - Keb 2:23-3:9: Luk 17:7-10

"Kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan"

(Keb 2:23-3:9: Luk 17:7-10)


"Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum.Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."(Luk 17:7-10), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.


Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Leo Agung, Paus dan Pujangga Gereja, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

 

• Kita semua, entah jabatan, fungsi atau kedudukan kita apapun, memiliki tugas pengutusan yang harus kita laksanakan; hanya satu dua orang saja yang memberi tugas pada dirinya sendiri dan kebanyakan dari kita menerima tugas dari orang lain, maka kita dapat berkata :"Kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan". Kata-kata demikian ini muncul dari siapapun yang rendah hati. Hari ini kita kenangkan Leo Agung, Paus, yang dalam doa-doanya senantiasa menyatakan diri sebagai hamba yang hina dina, "kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna". Sabda Yesus hari ini mengajak kita semua untuk menghayati bahwa "Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan". Jika kita semua dapat melakukan kewajiban dan tugas pengutusan kita masing-masing dengan baik, selesai dan tuntas, maka hidup bersama dan kerja bersama menjadi damai dan tentram, selamat dan sejahtera. Maka dengan ini kami mengharapkan kita semua, tugas atau kewajiban apapun dan sekecil apapun hendaknya dikerjakan dengan baik, tanpa mengeluh atau menggerutu. Hamba yang baik memang senantiasa bekerja dengan baik, cekatan, tanggap terhadap situasi dan tuntutan, bergairah…dan pada umumnya yang dikerjakan apa-apa yang sederhana tetapi menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain ketiadaan hamba atau pelayan pada umumnya hidup bersama berubah, dan pada saat itu kita menyadari betapa pentingnya dan besarnya peran hamba dalam kehidupan sehari-hari. Marilah kita `berterima kasih' kepada para hamba atau pelayan, dan tentu saja terima kasih tersebut selayaknya diwujudkan dengan memberi kesejahteraan hidup yang layak kepada mereka. Masing-masing dari kita hendaknya juga mampu melakukan tugas-tugas sebagaimana harus dikerjakan oleh para hamba atau pelayan.


• "Setelah disiksa sebentar mereka menerima anugerah yang besar, sebab Allah hanya menguji mereka, lalu mendapati mereka layak bagi diri-Nya. Laksana emas dalam dapur api diperiksalah mereka oleh-Nya, lalu diterima bagaikan korban bakaran" (Keb 3:5-6). Kutipan ini layak menjadi permenungan bagi siapapun yang setia melakukan tugas pengutusan atau kewajiban dengan baik. Dalam melakukan tugas selayaknya kita merasa disiksa, maka baiklah dalam melaksanakan tugas pengutusan atau kewajiban apapun hendaknya bersikap mental belajar dan dengan demikian kita memiliki sikap mental belajar terus menerus, ongoing education, ongoing formation. Bukankah orang yang sedang belajar `laksana emas dalam dapur api', sehingga terus menerus digembleng dan diolah? Hanya emas murni yang bertahan alias tidak luluh lantak, hancur lebur, ketika terjadi kebakaran, emas murni semakin terbakar semakin nampak kemurniannya atau keasliannya. Jika kita jujur dan cermat mawas diri kiranya masing-masing dari kita akan menyadari dan mengakui bahwa diri kita telah tercemar atau ternoda oleh aneka bentuk perbuatan dosa, dan dengan demikian masing-masing dari kita butuh pembersihan atau pemurnian kembali. Pembersihan atau pemurnian kembali tersebut harus kita jalani dengan hidup dan bekerja sebaik mungkin setiap hari sesuai dengan tugas dan kewajiban kita masing-masing. Maka marilah kita tegakkan disiplin diri, kejujuran, kesetiaan dan keteguhan hati dalam melaksanakan aneka macam tugas pengutusan atau kewajiban. Kita hancurkan aneka macam topeng kehidupan atau sandiwara kehidupan yang pada dasarnya nikmat sesaat sengsara selamanya. Kita hidup disiplin dan jujur, dan mungkin akan hancur sesaat tetapi seterusnya atau selamanya akan mujur. Sikap mental belajar terus menerus kami harapkan dibiasakan atau ditanamkan pada anak-anak atau peserta didik dan tentu saja dengan dukungan teladan dari orangtua dan pendidik/guru.


"Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong; wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi.


Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya" (Mzm 34:16-19)


Minggu, 08 November 2009

9 Nov - Yeh 47:1-2.8-9.12; 1Kor 3:9b-11.16-17; Yoh 2:13-22

Pesta  Pemberkatan Gereja Basilik Lateran: Yeh 47:1-2.8-9.12; 1Kor 3:9b-11.16-17; Yoh 2:13-22

"Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan."

Beberapa dari anda kiranya masih ingat perihal 'Kisah Penampakan Bunda Maria' di tempat-tempat peziarahan Bunda Maria di wilayah Keuskupan Agung Semarang, Jawa Tengah, yaitu di Sendang Sono dan Sendang Sriningsih, yang 'dikomandani' oleh seseorang bernama Bapak Thomas, almarhum.. Pada masa itu setiap bulan kegiatan tersebut diselenggarakan, dan umat yang berpartisipasi atau hadir pun luar biasa banyaknya. Gerakan tersebut di satu sisi menggembirakan yaitu semakin banyak orang berdevosi kepada Bunda Maria, tetapi di sisi lain menggelisahkan juga, yaitu ada kecurigaan tertentu yang muncul dalam benak hati kami. Gejala yang mencurigakan kami antara lain: seluruh kolekte pada upacara tersebut 'dibawa semuanya' oleh kelompok Bapak Thomas  dan tiada sedikit ditinggalkan untuk kepentingan tempat peziarahan terkait, peristiwa penampakan dapat direncanakan dan ditentukan waktunya, dst.. Dengan kata lain terjadi komersialisasi ibadat dan tempat ibadat, dimana sekelompok umat mencari keuntungan/uang sebesar-besarnya untuk memperkaya diri sendiri melalui kegiatan ibadat. Kami, yang berwenang, ambil kebijakan sebagaimana tertulis dalam Injil: "Jika gerakan mereka berasal dari Roh Kudus pasti akan jalan terus, tetapi jika tidak berasal dari Roh Kudus dalam waktu singkat pasti berhenti sendiri", serta dengan akal sehat mengusahakan pencerahan. Akhirnya dengan bantuan seorang paranormal yang baik dapat diketahui bahwa ada kemungkinan kegiatan tersebut didukung oleh beberapa paranormal yang tidak baik alias komersial. Dengan bantuan seorang paranormal yang baik itu akhirnya tercerahkan bahwa kegiatan tersebut bukan beralal dari Roh Kudus, melainkan dari manusia  yang materilistis, pada suatu saat gagallah usaha 'penampakan Bunda Maria' tersebut dan seterusnya berhenti total.

 

"Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan."(Yoh 2:16)      

 

"Tempat-tempat suci ialah tempat yang dikhususkan untuk ibadat ilahi atau pemakaman kaum beriman dengan pengudusan atau pemberkatan yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi untuk itu" (KHK kan 1205). Mengacu pada aturan hukum ini apa yang disebut tempat suci antara lain: tempat ibadah (gereja, kapel dll), tempat peziarahan, dll. Tempat tinggal hemat saya sedikit banyak juga dapat dikategorikan 'tempat suci', mengingat dan mempertimbangkan bahwa rumah telah diberkati untuk tempat tinggal. Di tempat-tempat suci dilarang 'berjualan' atau berbisnis, dimana ada pribadi atau organisasi berusaha mencari keuntungan demi diri sendiri. Maka jika para pedagang atau penjual souvenir atau makanan hendaknya tidak di lingkungan tempat suci, tetapi berada di luar lingkungan, kecuali keuntungan diperuntukkan bagi karya amal atau sosial.

 

Harta benda atau uang yang dipersembahkan  atau diterima selama ibadat dan di tempat ibadat menjadi milik Umat Allah atau Gereja dan demikian harus digunakan sesuai dengan aturan Gereja antara lain untuk "mengatur ibadat ilahi, memberi penghidupan yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lainnya, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal-kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan" (KHK kan 1254).  Dengan kata lain harta benda atau uang yang diterima selama beribadat dan tempat ibadat difungsikan untuk pelayanan umat, terutama terarah kepada mereka yang miskin dan berkekurangan, yang tentu saja mengandaikan pembinaan umat pada umumnya tak terabaikan. Para klerus beserta para pembantunya, entah dalam hidup sehari-hari maupun organisasi gerejawi, hendaknya memperoleh perhatian yang memadai sehingga mereka dapat menyelenggarakan pembinaan iman umat dengan baik dan memadai. Pada umumnya semakin beriman juga semakin sosial.

 

Kami ingatkan juga sedikit banyak tempat tinggal kita juga tempat suci karena telah diberkati, maka hendaknya juga tidak ada sikap mental bisnis atau jualan di tempat tinggal atau rumah, dengan kata lain hendaknya di dalam keluarga juga terjadi kegiatan pembinaan iman anggota keluarga, entah dengan doa atau ibadat maupun cara hidup dan cara bertindak. Doa bersama setiap hari di dalam keluarga, entah doa pagi atau doa malam, akan sangat mendukung kehidupan iman anggota keluarga. Karena rumah bagaikan tempat ibadat, maka semua anggota keluarga bagaikan sedang beribadat, sarana-prasarana hidup  berkeluarga dirawat bagaikan merawat sarana-prasarana ibadat, dst..  Tempat kerja hendaknya juga disikapi bagaikan tempat ibadat, sehingga bekerja bagaikan sedang beribadat, rekan kerja bagaikan rekan ibadat, perawatan sarana-prasarana kerja bagaikan perawatan sarana-prasarana ibadat, sikap mental semua orang  bagaikan sikap mental sedang beribadat, dst..

 

"Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu" (1Kor 3:16-17)

 

Dalam rangka mengenangkan "Pemberkatan Gereja Basilik Lateran", gereja atau katedral resmi Paus, kita juga diingatkan bahwa sebagai umat Allah atau umat beriman juga menjadi bait Allah dan Roh Allah diam di dalam diri kita. Karena Roh Allah diam di dalam diri kita, maka dari diri kita memancarlah keutamaan-keutamaan seperti " kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri."(Gal 5:22-23) atau sebagaimana diilustrasikan oleh nabi Yeheskiel bahwa diri kita bagaikan tanah subur dimana "tumbuh bermacam-macam pohon buah-buahan, yang daunnya tidak layu dan buahnya tidak habis-habis; tiap bulan ada lagi buahnya yang baru, sebab pohon-pohon itu mendapat air dari tempat kudus itu. Buahnya menjadi makanan dan daunnya menjadi obat."(Yeh 47:12)

Cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun diharapkan berbuah keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai kehidupan yang menyelamatkan dan membahagiakan. Dengan kehadiran dan sepak terjang kita, mereka yang sakit menjadi sembuh, yang lesu dan frustrasi menjadi bergairah, yang sedih menjadi gembira dan ceria, yang miskin diperkaya, yang egois menjadi sosial, yang bodoh menjadi cerdas, dst.. Dan tentu saja kita sendiri senantiasa dalam keadaan sehat wal'afiat, segar bugar baik secara jasmani maupun rohani, phisik maupun spiritual. Cara hidup dan cara bertindak kita membuat diri kita semakin dikasihi oleh Allah dan sesama manusia.

 

Jika masing-masing dari kita sungguh menjadi 'bait Allah', maka kebersamaan hidup layak disebut sebagai keluarga Allah, Allah hidup dan bekerja dalam kebersamaan hidup kita, dan tentu saja dalam dan melalui diri kita sebagai 'bait Allah'. Maka dengan ini kami mengingatkan dan mengajak kita semua untuk menjaga dan merawat diri sendiri sebaik dan seoptimal mungkin sehingga layak sebagai 'bait Allah'.  Cara untuk itu antara lain tidak melupakan hidup doa atau ibadat harian serta senantiasa berbuat baik kepada orang lain; semakin kita banyak berbuat  baik maka kita juga semakin baik, sebaliknya jika kita enggan atau malas berbuat baik maka kita juga akan menjadi pribadi kerdil, frustrasi, penakut dst.. Ketika kita terbiasa berbuat baik kepada orang lain, kita juga akan berkembang menjadi pribadi yang proaktif dan kreatif. Maka marilah kita saling mendoakan dan berbuat baik, dan dengan rendah hati saya mohon doa anda sekalian agar saya setia pada panggilan dan tugas pengutusan, menghayati panggilan Yesuit maupun imamat dengan meneladan Yesus yang datang untuk melayani bukan dilayani, yang menyelamatkan dan membahagiakan siapapun juga dan dimanapun juga.

 

"Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti.Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut"(Mzm 46:2-3)

 

Jakarta, 9 November 2009

8 Nov - 1Raj 17:10-16; Ibr 9:24-28; Mrk 12:38-44


Mg Biasa XXXII: 1Raj 17:10-16; Ibr 9:24-28; Mrk 12:38-44

"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan."

Dua minggu sebelum ditahbiskan saya ditemui oleh pastor paroki saya dan menyampaikan usulan: "Setelah ditahbiskan nanti, mempersembahkan misa di gereja paroki (Wedi-Klaten) sambil syukuran ya". "Kalau boleh saya misa perdana bersama umat di kapel stasi Gondang saja", tanggapan dan permohonan saya. "Ya, tetapi renovasi kapel belum selesai", jawaban pastor paroki. "Tidak apa-apa, seadanya saja" , jawaban saya. Dan memang akhirnya saya dimungkinkan untuk mempersembahkan misa kudus bersama umat pertama kali di kapel stasi. Umat wilayah dimana saya berasal, mendengar berita itu sangat gembira, dan saya dengan akhirnya umat wilayah kami selama satu minggu, dari pagi sampai sore bergotong royong untuk menyelesaikan renovasi kapel. Mayoritas umat wilayah asal kami adalah 'buruh tukang batu' dan selama seminggu mereka pamit tidak 'kerja' dulu untuk bergotong royong menyelesaikan renovasi kapel. Tidak 'kerja' seminggu berarti mereka tidak memperoleh imbalan jasa atau gaji selama seminggu; dan selama seminggu mereka mempersembahkan diri untuk renovasi kapel, dengan harapan pada hari "H", misa perdana saya, siap atau layak pakai. Memperhatikan semuanya itu saya merasa bahwa umat wilayah tersebut bagaikan "janda yang memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."

 

"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (Mrk 12:43-44)

 

Di dalam kehidupan menggereja  kita kenal adanya 'persembahan' dan 'kolekte'. Persembahan merupakan tradisi orang Yahudi, yang pada saat ini hidup di lingkungan jemaat Kristen Protestan, sepersepuluhan, yaitu mempersembahkan sepersepuluh (10%) dari penghasilan untuk kehidupan dan karya pelayanan Gereja. Sedangkan kolekte adalah sumbangan sukarela dalam ibadat, yang pada umumnya diadakan setelah kotbah atau homili. Orang kaya dengan penghasilan 10 (sepuluh) juta rupiah per bulan  ketika mempersembahkan 10% berarti mempersembahkan 1(satu) juta rupiah, dengan demikian masih tersisa penghasilan sebesar 9(sembilan) juta rupiah. Sedangkan orang miskin, katakan berpenghasilan sesuai dengan UMR, misalnya 8 (delapan) ratus ribu rupiah per bulan, ketika ia mempersembahkan 8 (delapan) ratus ribu rupiah, maka tiada sedikitpun yang tersisa padanya untuk memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan. Secara nominal yang miskin lebih kecil daripada yang kaya dalam memberi persembahan, tetapi secara spiritual ia yang miskin mempersembahkan lebih besar daripada yang kaya, karena ia mempersembahkan seluruh nafkahnya.

 

Memberi dari kelimpahan berarti membuang sampah alias menjadikan si penerima atau yang lain 'tempat sampah', sedangkan memberi dari kekurangan itulah persembahan yang benar. Persembahan yang benar memang harus berkorban, ada pengorbanan.  Harta benda gerejawi yang ada sampai saat ini merupakan persembahan umat Allah. Perolehan, pemilikan dan pengelolaan harta benda gerejawi memiliki tujuan-tujuan khas yaitu "mengatur ibadat ilahi, memberi penghidupan yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lainnya, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan" (KHK kan 1254). Dengan kata lain harta benda berasal dari umat Allah/umat beriman dan harus difungsikan untuk membina umat Allah/umat beriman agar semakin beriman atau mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Semakin beriman pada umumnya juga semakin banyak memberi persembahan, maka kami berharap kepada para pengelola harta benda gerejawi untuk sungguh memfungsikan harta benda tersebut untuk membina umat beriman seluruhnya, entah anak-anak, remaja, muda-mudi maupun orangtua yang berkedudukan atau berprofesi apapun. Semoga semakin kaya akan harta benda juga semakin beriman, dan dengan demikian semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan melalui hidup sehari-hari, semakin sosial, semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesamanya.

 

"Kristus bukan masuk ke dalam tempat kudus buatan tangan manusia yang hanya merupakan gambaran saja dari yang sebenarnya, tetapi ke dalam sorga sendiri untuk menghadap hadirat Allah guna kepentingan kita.Dan Ia bukan masuk untuk berulang-ulang mempersembahkan diri-Nya sendiri, sebagaimana Imam Besar setiap tahun masuk ke dalam tempat kudus dengan darah yang bukan darahnya sendiri" (Ibr 9:24-25)

Persembahan Yesus adalah di kayu salib, dimana Ia mempersembahkan diri seutuhnya: yang mempersembahkan sekaligus menjadi persembahan. Ia tidak mengorbankan atau mempersembahkan yang lain, tetapi dirinya sendiri. Sebagai orang-orang yang beriman kepadaNya kita dipanggil untuk meneladan Dia, antara lain tidak dengan mudah mengorbankan orang lain, lebih-lebih mereka yang miskin dan berkekurangan, yang pada umumnya menjadi korban aneka usaha pembangunan dan perkembangan. Sebagai orang Kristen atau Katolik, pengikut atau murid Yesus Kristus, kita dipanggil untuk meneladan Dia dalam berbuat baik atau bertindak sosial. Sebagai contoh: jika kita terlibat dalam gerakan sosial atau sukarela untuk membantu para korban bencana alam seperti gempa bumi atau banjir bandang, hendaknya pertama kali kita yang harus berani berkorban, entah memberi sumbangan dari sebagian harta benda atau uang kita atau tenaga kita.

 

Sosial berasal dari akar kata bahasa Latin sociare/socio yang dapat berarti: menyekutukan/menjadiikan sekutu, mengikat, mempertemukan, menggabungkan, menyatukan, menjadikan kepentingan bersama, membagikan dengan seseorang dll (lih: Drs.K.Print cm, Drs J.Adisubrata, WJS Porwadarminta: Kamus Bahasa Latin-Indonesia, Kanisus 1969, hal 798). Maka memberi persembahan atau sumbangan mengandung unsur tindakan-tindakan tersebut. Yang paling dekat atau memadai kiranya membagikan dengan  seseorang, dan yang kita bagikan adalah harta benda atau milik kita sendiri, bukan milik orang lain. Keutamaan mengorbankan atau mempersembahkan diri ini hendaknya dididikkan atau dibiasakan pada anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dan tentu saja dengan contoh atau teladan dari orangtua atau bapak-ibu. Bukankah bapak-ibu atau orangtua memiliki pengalaman dalam saling mempersembahkan atau mengorbankan diri, yaitu dalam saling mengisihi, yang antara lain memuncak dalam hubungan seksual?  Marilah kita meneladan sang janda ini, yang berkata dan menghayati apa yang ia katakan sendiri: "Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikit pun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati."(1Raj 17:12). Yang ia berikan akhirnya tidak habis melainkan bertambah, demikian juga jika kita melakukan yang sama. Yang mungkin jelas akan bertambah adalah jika kita berbuat baik atau sosial, maka kita akan semakin baik dan sosial.

 

"Yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung,TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar.TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya.TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya!"(Mzm 146:7-10)

 

Jakarta, 8 November 2009