"Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku"
Mg Paskah V: Kis 6:1-7; 1Ptr 2:4-9; Yoh 14:1-12
Orang yang mau meninggal pada umumnya gelisah, ada yang sangat gelisah dan ada yang kurang atau nampak tidak gelisah alias tenang-tenang saja. Kegelisahan yang ada menunjukkan kurangnya percaya kepada Allah alias kurang beriman. Dalam perjal;anan hidup orang yang kurang atau tidak beriman pasti ia hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri alias sombong, tidak mengakui atau menghayati bahwa hidup dan segala sesuatu yang menyertai hidup atau yang telah dan sedang dimiliki, dikuasai dan dinikmati merupakan anigerah Allah. Mereka yang mudah gelisah berarti tidak percaya bahwa Allah hidup dan berkarya dalam dirinya yang lemah dan rapuh melalui aneka sapaan, perhatian dan peerlakuan sesama manusia "Jangan gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepadaKu", demikian sabda Yesus yang hendaknya kita renungkan dan hayati, maka marilah kita renungkan dan hayati di dalam hidup kita sehari-hari sabda tersebut.
"Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku" (Yoh 14:1).
Hati memang merupakan pusat atau inti jati diri manusia, ingat dengan kata-kata jantung hati, patah hati, perhatian, dst.. ebagai umat beriman, khususnya yang beriman kepada Yesus Kristus kita dipanggil untuk tidak gelisah melainkan percaya kepada Allah dan juga percaya kepada Yesus Kristus, Penyelamat Dunia. Percaya berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada yang dipercaya, maka percaya kepada Allah berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah dalam dan melalui cara hidup dan cara bertindak, antara lain meneladan cara hidup dan cara bertindak Yesus Kristus "Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu" (Yoh 14:12), demikian sabda Yesus.
Pekerjaan atau tugas panggilan utama Yesus adalah menyelamatkan atau membahahagiakan orang lain, antara lain 'memberi makan kepada yang lapar, memberi minuman kepada yang haus, memberi pakaian yang telanjang, menyembuhkan mereka yang sakit, membangkitkan yang mati, melawat atau mengunjungi yang terpenjara, membebaskan yang tertawan, dst..'. Maka marilah meneladan Yesus, dan kiranya jika kita rajin dan tekun mengerjakan apa yang dikerjakan oleh Yesus, kami yakin pada suatu saat kita akan mampu mengerjakan apa-apa yang lebih besar daripada apa yang dapat kita kerjakan sekarang. Hendaknya dalam melaksanakan pekerjaan apapun asal hal itu menyelamatkan atau membahagiakan orang lain maupun diri kita sendiri, terutama keselamatan atau kebahagiaan jiwa, tidak gelisah, mengeluh atau menggerutu ketika harus menghadapi aneka masalah, tantangan dan hambatan. Hadapi aneka masalah, hambatan serta tantangan dengan penuh kepercayaan dan kegairahan sebagai tanda bahwa Tuhan senantiasa menyertai atau mendampingi kita, karena kita percaya sepenuhnya kepada Tuhan.
Aneka tantangan, hambatan dan masalah hemat saya merupakan wahana untuk meningkatkan dan memperdalam kemampuan, keterampilan dan kecerdasan kita, sehingga jika kita hadapi dengan keteguhan hati dan bantuan rahmat Allah kita akan semakin terampil dan cerdas dan dengan demikian benarlah sabda Yesus bahwa kita akan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi. Maka kami berharap agar anak-anak sedini mungkin dibiasakan dan dididik untuk menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan. Jika tidak ada hambatan, masalah atau tantangan yang muncul, hendaknya diciptakan tantangan, masalah dan hambatan yang dapat diatasi oleh anak-anak; semakin lama tantangan, masalah atau hambatan semakin diperbesar, agar anak-anak juga semakin diperdalam, diperkembangkan dan diteguhkan keterampilan dan kecerdasannya. Maka kami berharap agar anak-anak dijauhkan dari aneka macam bentuk pemanjaan yang mencelakakan masa depan hidup mereka. Kami juga mengingatkan para pengelola atau pelaksana proses pendidikan di sekolah, sebagai pembantu orangtua dalam mendidik anak-anak, sesuai dengan namanya hendaknya anak-anak atau para peserta didik lebih diperhatikan dalam peningkatan atau pendalaman sikap belajar terus- menerus; hendaknya para peserta didik dibina dan didik agar mereka semakin terampil dalam belajar: belajar hidup, belajar bekerja, belajar agar terampil belaajar dan belajar bekerja. 'Ongoing education/ongoing formation' hendaknya menjadi pedoman, acuan dan sasaran proses pembelajaran entah di dalam keluarga maupun sekolah.
"Kamula bh bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib"(1Ptr 2:9)
Sapaan atau peringatan Petrus diatas ini hendaknya sungguh kita renungkan dan hayati sebagai orang-orang yang beriman, yang terpilih untuk fungsi atau jabatan tertentu dalam hidup maupun bekerja bersama sehari-hari. Kita semua dipanggil untuk hidup kudus atau suci serta menghayati imamat rajani dalam hidup sehari-hari. Menjadi imam berarti menjadi penyalur rahmat Allah bagi sesama manusia serta dambaan sesama manusia bagi Allah. Dalam hidup dan bekerja bersama menjadi imam bagaikan 'leher' dalam tubuh manusia, yang berfungsi sebagai 'jalan atau penyalur', yaitu jalan makanan, minuman dan udara. Dalam melaksanakan fungsinya leher tidak pernah korupsi sedikitpun seperti gigi atau mulut. Leher juga tidak pernah menyakiti; leher senantiasa siap sedia untuk dilewati dan kerjanya atau fungsinya tak pernah berhenti seperti anggota tubuh lain butuh istirahat.
Menghayati imamat rajani juga dipanggil untuk 'memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar bagi Dia', Yang dimaksudkan dengan perbuatan-perbuatan besar antara lain adalah apa-apa yang menyelamatkan atau membahagiakan jiwa manusia. Maka hendaknya keselamatan atau kebahagiaan jiwa manusia menjadi acuan, pedoman dan tolok ukur keberhasilan hidup dan bekerja dimanapun dan kapanpun. Dengan kata lain hendaknya kecerdasan spiritual menjadi cita-cita atau tujuan aneka usaha dan kegiatan atau kesibukan kita setiap hari. orang cerdas secara spiritual maka yang bersangkutan dengan mudah untuk mengusahakan kecerdasan lainnya seperti kecerdasan phisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan social, kecerdasan emosional, dst…
Dalam kehidupan jemaat perdana sebagai dikisahkan dalam kutipan Kisah Para Rasul hari ini dikatakan bahwa butuh orang-orang baik untuk pelayanan meja guna mendukung para rasul yang memusatkan perhatian pelayanan mereka dalam pewarta Firman atau Sabda Tuhan. Yang dimaksudkan dengan pelayanan meja adalah pelayanan kebutuhan hidup sehari-hari umat manusia seperti sandang, pangan dan papan (pakaian, makanan/minuman dan tempat tinggal), yang pada masa kini hemat saya lebih dilakukan oleh rekan-rekan awam sebagai penghayatan iman dalam hidup sehari-hari. Maka dengan ini kami berharap kepada rekan-rekan awam untuk memperhatikan saudara-saudarinya yang berkekurangan dalam hal pakaian, makanan/minuman maupun tempat tinggal. Marilah kita wujudkan bersama sila kelima dari Pancasila, Keadilan social bagi seluruh bangsa, dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari.
"Bersorak-sorailah, hai orang-orang benar, dalam TUHAN! Sebab memuji-muji itu layak bagi orang-orang jujur. Bersyukurlah kepada TUHAN dengan kecapi, bermazmurlah bagi-Nya dengan gambus sepuluh tali! Sebab firman TUHAN itu benar, segala sesuatu dikerjakan-Nya dengan kesetiaan.Ia senang kepada keadilan dan hukum; bumi penuh dengan kasih setia TUHAN."
(Mzm 33:1-2.4-5)
Ign 22 Mei 2011