Fans Page Facebook http://imankatolik.or.id

imankatolik.or.id on Facebook

Sabtu, 13 Maret 2010

14 Mar - Yos 5:9a.10-12; 2Kor 5:17-21; Luk 15:1-3.11-32

"Marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk"

Mg Prapaskah IV : Yos 5:9a.10-12; 2Kor 5:17-21; Luk 15:1-3.11-32

 

Para pendatang pada umumnya lebih sukses dan berhasil dalam usaha dan kerjanya daripada para penduduk asli. Penduduk asli sering merasa diri sebagai yang berkuasa dan terpilih di daerah atau tempat tinggalnya serta ada kecenderungan untuk menjadi sombong. Dengan dan dalam perasaan macam itu penduduk asli juga merasa yang terbaik atau lebih baik daripada pendatang. Perasaan sebagai yang terbaik juga dialami oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, sebagaimana digambarkan sebagai anak sulung dalam perumpamaan 'anak hilang', sebagaimana dikisahkan di dalam Warta Gembira hari ini. Warta Gembira hari ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi bagi siapapun yang bersikap mental Farisi atau merasa diri yang terbaik.

 

"Bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka" (Luk 15:2).

 

Yesus adalah Penyelamat Dunia, yang datang untuk menyelamatkan dunia, maka Ia senantiasa berusaha untuk mencari dan menyelamatkan orang berdosa atau 'yang hilang'. Ia duduk dan makan bersama dengan para pendosa, yang dalam 'mind set'  masyarakat waktu itu orang berdosa berarti harus disingkiri dan dijauhkan dari pergaulan bersama. Mungkin sebagian dari kita juga memiliki 'mind set'  macam itu, sehingga enggan atau tidak bersedia bergaul dengan para pendosa atau mereka yang terbuang. Dalam tampilan SCTV beberapa waktu yang lalu antara lain disiarkan seorang yang berjiwa sosial di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang dengan penuh cinta kasih dan pengorbanan merawat dan mengurus saudara-saudarinya yang bernyakit jiwa serta menggelandang. Ia membuat asrama sederhana dan menyisihkan kekayaannya untuk mengurus dan merawat puluhan pasien sakit jiwa. Diceriterakan juga bahwa beberapa temannya berkomentar "Untuk apa kamu mengurus orang-orang macam itu?".  Komentar macam itu rasanya mirip dengan 'sungut-sungut orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat' ketika mereka melihat Yesus duduk dan makan bersama para pendosa.

 

"Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia" (Luk 15:28-30), begitulah gambaran orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang diperankan oleh 'anak sulung': sombong dan melecehkan orang lain, yang memang lebih jelek dan berdosa. Kepada mereka yang masih bersikap mental Farisi kami ajak untuk bertobat dan belajar rendah hati, sebagaimana dihayati oleh 'anak hilang'.

 

"Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa" (Luk 15:21)  .

 

Jika kita jujur mawas diri atau melihat diri sendiri, kiranya kita semua akan menyadari dan menghayati diri sebagai yang berdosa, seperti 'anak hilang'. Jika kita mengaku tidak pernah berdosa, maka berarti kita berdusta terhadap diri kita sendiri. Marilah di masa Tobat/Prapaskah ini dengan rendah hati kita mengakui segala kesalahan dan dosa yang telah kita lakukan: secara liturgis kita mengaku dosa secara pribadi di hadapan seorang imam, dan secara sosial, jika dimungkinkan baiklah kita mengakui kesalahan dihadapan saudara kita yang telah menjadi korban kesalahan kita serta mohon kasih pengampunan dari dia. Berdosa memang memiliki dimensi vertical dan horisontal, ada hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia maupun lingkungan hidupnya.

 

Kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang berdosa identik dengan kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang beriman; semakin beriman berarti semakin menyadari dan menghayati diri sebagai yang lemah dan rapuh serta dikasihi oleh Tuhan. Orang-orang terpilih di dalam Gereja Katolik, misalnya para uskup,  senantiasa menyatakan diri sebagai yang hina dina dan berdosa, yang dipanggil Tuhan untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatanNya, maka selayaknya kita meneladan mereka. Menyadari dan menghayati diri sebagai yang berdosa tidak berarti lalu diam saja, melainkan berarti senantiasa membuka diri untuk ditumbuh-kembangkan alias dibina dan dididik terus menerus. Dengan kata lain orang bersikap mental 'ongoing formation/ongoing education' . Orang yang bersikap mental demikian ini pada umumnya juga dapat menjadi pendamai dan pengampun, meneladan 'bapa yang baik'.

 

"Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria" (Luk 15:22-24).

Sebagai orang beriman kita dipanggil untuk menghayati iman kita antara lain dengan menjadi saksi dan menyebarluaskan kasih pengampunan dan pendamaian, sebagaimana dikatakan Paulus kepada umat di Korintus : "Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami" (2Kor 5:19). Segala kesalahan, pelanggaran dan dosa-dosa kita tidak pernah diperhitungkan atau diingat-ingat lagi oleh Tuhan, dan mungkin juga oleh saudara-saudari kita, maka marilah hal itu kita syukuri dengan menjadi saksi kasih pengampunan dan pendamaian.

 

Gerakan kasih pengampunan dan pendamaian kiranya sungguh mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan pada masa kini, mengingat dan memperhatikan masih maraknya aneka balas dendam dan kemarahan sebagai wujud konkret kesombongan. Marilah kita pro-aktif: dimanapun dan kapanpun kita melihat dan mendengar terjadi permusuhan, balas dendam dan kemarahan, marilah segera kita datangi untuk diajak berdamai. Kita dapat meneladan 'bapa yang baik', yang tidak memperhitung-kan serta mengingat-ingat kesalahan, dosa dan kekurangan orang lain, dan ketika ada orang bertobat dan berdamai hendaknya segera kita ajak bersukaria dan bergembira ria.  Baiklah saya angkat lagi pesan Perdamaian Paus Yohanes Paulus II dalam rangka memasuki Millenium Ketiga :"There is no peace without justice, there is no justice without forgiveness" (= Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilan tanpa kasih pengampunan). Berbuat adil antara lain menjunjung tinggi, menghormati dan menghargai harkat martabat manusia, sebagai ciptaan Allah terluhur dan termulia di dunia ini, demikian juga mengampuni mereka yang bersalah atau berdosa.

 

"Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku. Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita.Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku" (Mzm 34:2-5).

Jakarta, 14 Maret 2010

.        


Jumat, 12 Maret 2010

13 Mar - Hos 6:1-6; Luk 18:9-14


"Barangsiapa meninggikan diri ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri ia akan ditinggikan"(Hos 6:1-6; Luk 18:9-14)

 

"Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:"Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Luk 18:9-14), demikian kutipan Warta Gembira hari ini. 

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Kerendahan hati adalah keutamaan dasar atau utama, kebalikan dari kesombongan. "Rendah hati adalah sikap dan perilkau yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Dalam kisah Warta Gembira hari ini ditampilkan orang Farisi, yang sombong, yang melecehkan atau merendahkan pemungut cukai. Mungkin kita juga sering sombong dengan melecehkan atau merendahkan orang lain, antara lain dalam bentuk ngrumpi/ngrasani atau mengeluh, marah. Pada umumnya orang ngrumpi atau ngrasani membicarakan kelemahan atau kekurangan orang lain dan merasa dirinya lebih baik, sedangkan orang mengeluh berarti melecehkan yang lain juga, apalagi marah. Marilah kita dengan rendah hati menyadari dan menghayati diri sebagai yang lemah dan berdosa, dan menghayati doa ini :"Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini". Ingatlah dan sadari serta hayati bahwa semakin tambah usia pada umumnya kita juga bertambah dosa dan kekurangan kita. Maka hendaknya semakin tua atau tambah usia, semakin banyak pengalaman, juga semakin rendah hati. "Tua-tua keladi, makin tua dan berisi makin menunduk, sedangkan yang tak berisi menengadah ke atas". Maka semakin tua semakin sombong berarti tidak beriman atau kurang beriman. Kami berharap para pemimpin, orangtua atau atasan dapat menjadi teladan dalam penghayatan keutamaan kerendahan hati, sehingga sebagai pemimpin, orangtua atau atasan senantiasa hidup dan bertindak dengan semangat melayani.

·   "Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal TUHAN; Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi."(Hos 6:3). Kutipan ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita: kita diajak untuk berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan. Marilah kita sadari dan hayati bahwa masing-masing dari kita diciptakan oleh Tuhan serta dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya saat ini merupakan anugerah atau karya Tuhan, yang kita terima melalui orang-orang yang telah mengasihi kita atau berbuat baik kepada kita. Maka mengenal Tuhan juga dapat diartikan mengenal dan mengakui kebaikan dan kasih saudara-saudari kita, orangtua, pendidik/guru kita, dst… Kita semua telah menerima banyak kasih, maka selayaknya hidup dijiwai oleh terima kasih. Dengan kata lain orang yang mengenal Tuhan berarti senantiasa berterima kasih, menghayati segala sapaan, sentuhan, tegoran orang lain sebagai kasih. Sebagai ungkapan terima kasih kita berarti kita juga dipanggil untuk mengasihi orang lain dimanapun dan kapanpun. Orang yang hidup dalam dan oleh kasih memang "seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi", kehadiran dan sepak terjangnya dimanapun dan kapanpun senantiasa menyegarkan dan menggairahkan orang lain. Orang yang mengenal Tuhan akan menghayati segala sesuatu dalam Tuhan atau mampu menemukan Tuhan dalam segala sesuatu; ia senantiasa dalam keadaan gembira, segar-bugar, dan dengan demikian menarik, mempesona dan memikat orang lain. Maka dengan ini kami mengingatkan kita semua: jika kita tidak gembira, segar bugar dan bergairah berarti ada dosa atau kekurangan dalam diri kita, maka baiklah hal itu kita sadari dan kemudian mengaku dosa, mohon kasih pengampunan dari Tuhan.

 

"Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah. Lakukanlah kebaikan kepada Sion menurut kerelaan hati-Mu bangunkanlah tembok-tembok Yerusalem! Maka Engkau akan berkenan kepada korban yang benar, korban bakaran dan korban yang terbakar seluruhnya" (Mzm 51:18-21)

 

Jakarta, 13 Maret 2010


Kamis, 11 Maret 2010

12 Mar - Hos 14:2-10; Mrk 12:28b-34)

"Hukum manakah yang paling utama?"

(Hos 14:2-10; Mrk 12:28b-34)

 

"Seorang ahli Taurat, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?" Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan."Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" Dan seorang pun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus" (Mrk 12:28b-34), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Setiap peraturan, hukum atau undang-undang hemat saya dibuat dan diundangkan atau diberlakukan atas dasar dan demi cintakasih, sehingga hidup bersama senantiasa dijiwai oleh cintakasih. Dengan kata lain cintakasih merupakan hukum pertama dan utama. Dalam warta gembira hari ini kita diingatkan dan diajak untuk saling mengasihi "dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu". Saling mengasihi yang demikian ini hemat saya dapat terjadi secara konkret dalam pasangan suami-isteri atau laki-laki dan perempuan yang saling mengasihi, yang antara lain ditandai dengan 'hubungan seksual' sebagai wujud saling mengasihi dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan atau tenaga. Kita semua diciptakan oleh Allah dalam dan oleh kasih  serta dengan kerjasama dari orangtua kita masing-masing, yang saling mengasihi, maka kita semua adalah 'buah kasih' atau 'yang terkasih'. Jika kita menyadari dan menghayati diri sebagai 'buah kasih' atau 'yang terkasih', hemat saya panggilan untuk saling mengasihi dengan mudah kita lakukan, karena bertemu dengan orang lain berarti 'yang terkasih' bertemu dengan 'yang terkasih', dan dengan demikian pasti saling mengasihi. Kita diingatkan juga bahwa dalam mengasihi hendaknya dengan 'segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan atau tenaga', yang berarti dengan sepenuh hati, jiwa, akal budi dan kekuatan. Jika tidak sepenuhnya berarti sakit hati, sakit jiwa, sakit akal budi atau sakit tubuh, maka sulit untuk mengasihi. Marilah saling menjaga dan membantu dalam usaha menyehatkan hati, jiwa, akal budi dan tubuh kita, agar kita dapat saling mengasihi dengan baik.

·   "Siapa yang bijaksana, biarlah ia memahami semuanya ini; siapa yang paham, biarlah ia mengetahuinya; sebab jalan-jalan TUHAN adalah lurus, dan orang benar menempuhnya, tetapi pemberontak tergelincir di situ." (Hos 14:10). Orang bijak dan benar memang senantiasa menelusuri jalan-jalan Tuhan. Jalan-jalan Tuhan belum tentu mulus bagaikan jalan tol bebas hambatan, tetapi pada umumnya jalan-jalan Tuhan sarat dengan tantangan, godaan dan hambatan, maka siapapun yang menelusuri jalan-jalan Tuhan harus berjuang dan berkorban. Sebagai contoh jalan Tuhan adalah 'jujur', dimana ada rumor 'orang jujur untuk sementara hancur, tetapi seterusnya atau selamanya mujur'. "Jujur adalah sikap dan perilaku yang tidak suka berbohong dan berbuat curang, berkata-kata benar apa adanya dan berani mengakui kesalahan, serta rela berkorban untuk kebenaran" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 17). Kita semua tahu melalui aneka macam media bahwa mereka yang tidak jujur dalam rangka menghayati panggilan atau melaksanakan tugas pengutusan/pekerjaan sungguh tergelincir, ketika kejujuran dikorek dengan berbagai cara. Maka kami berharap hendaknya kejujuran sedini mungkin dibiasakan atau  dididikkan pada anak-anak di dalam keluarga dan kemudian diteruskan, diperkembangkan dan diperdalam di sekolah-sekolah, tentu saja dengan teladan orangtua maupun guru/pendidik. Di sekolah-sekolah di tingkat apapun kami harapkan kejujuran ini menjadi perhatian khusus, antara lain diberlakukan 'dilarang menyontek baik dalam ulangan maupun ujian'. Biarlah anak-anak atau peserta didik berjuang dan berkorban dalam rangka mewujudkan cita-cita, impian atau harapannya.

 

"Aku telah mengangkat beban dari bahunya, tangannya telah bebas dari keranjang pikulan; dalam kesesakan engkau berseru, maka Aku meluputkan engkau; Aku menjawab engkau dalam persembunyian guntur, Aku telah menguji engkau dekat air Meriba. Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku! Janganlah ada di antaramu allah lain, dan janganlah engkau menyembah kepada allah asing." (Mzm 81:7-10)

Jakarta, 12 Maret 2010

.

 


Rabu, 10 Maret 2010

11 Mar - Yer 7:23-28; Luk 11;14-23

"Siapa tidak bersama Aku ia melawan Aku"

(Yer 7:23-28; Luk 11;14-23)

 

"Pada suatu kali Yesus mengusir dari seorang suatu setan yang membisukan. Ketika setan itu keluar, orang bisu itu dapat berkata-kata. Maka heranlah orang banyak. Tetapi ada di antara mereka yang berkata: "Ia mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan." Ada pula yang meminta suatu tanda dari sorga kepada-Nya, untuk mencobai Dia. Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka lalu berkata: "Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa, dan setiap rumah tangga yang terpecah-pecah, pasti runtuh. Jikalau Iblis itu juga terbagi-bagi dan melawan dirinya sendiri, bagaimanakah kerajaannya dapat bertahan? Sebab kamu berkata, bahwa Aku mengusir setan dengan kuasa Beelzebul. Jadi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, dengan kuasa apakah pengikut-pengikutmu mengusirnya? Sebab itu merekalah yang akan menjadi hakimmu. Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu. Apabila seorang yang kuat dan yang lengkap bersenjata menjaga rumahnya sendiri, maka amanlah segala miliknya. Tetapi jika seorang yang lebih kuat dari padanya menyerang dan mengalahkannya, maka orang itu akan merampas perlengkapan senjata, yang diandalkannya, dan akan membagi-bagikan rampasannya. Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan." (Luk 11:14-13), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Jika ada anggota keluarga atau komunitas jarang bertemu dan berkumpul dengan saudara-saudarinya, pada umumnya yang bersangkutan memiliki masalah atau sulit untuk bekerjasama dengan saudara-saudarinya serta hanya mengikuti kemauan dan selera pribadi. Dengan kata lain orang yang demikian itu dapat menjadi sumber perpecahan atau permusuhan. "Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan", demikian sabda Yesus, yang mengajak dan mengingatkan kita semua untuk  hidup bersaudara dan bersahabat dengan siapapun dan dimanapun, dan tentu saja pertama-tama dan terutama dengan mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama dengan kita. Maka marilah kita usahakan dan perdalam bersama persaudaraan atau persahabatan sejati. Ingatlah dan sadari bahwa laki-laki dan perempuan berbeda satu sama lain, namun demikian saling tertarik, tergerak untuk mendekat, bersahabat dan saling mengasihi, bahkan akhirnya ada yang siap sedia saling mengasihi sampai mati sebagai suami-isteri. Dengan  kata lain apa yang berbeda menjadi daya tarik, daya pikat, daya pesona untuk saling mendekat dan mengasihi, membangun dan memperdalam persaudaraan atau persahabatan sejati. Untuk mengusahakan persaudaraan atau persahabatan, hendaknya pertama-tama dan terutama menghayati apa yang sama di antara kita secara mendalam, misalnya sama-sama manusia, sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama beriman, sama-sama warganegara, dst… Jika apa yang sama dihayati secara mendalam, maka apa yang berbeda akan menjadi daya tarik, daya pikat, daya pesona untuk memperdalam persaudaraan atau persahabatan sejati.

·   "Sekalipun engkau mengatakan kepada mereka segala perkara ini, mereka tidak akan mendengarkan perkataanmu, dan sekalipun engkau berseru kepada mereka, mereka tidak akan menjawab engkau. Sebab itu, katakanlah kepada mereka: Inilah bangsa yang tidak mau mendengarkan suara TUHAN, Allah mereka, dan yang tidak mau menerima penghajaran! Ketulusan mereka sudah lenyap, sudah hapus dari mulut mereka."(Yer 7:27-28). Mungkin kita termasuk orang yang kurang mendengarkan 'suara Tuhan', sehingga cara hidup dan cara bertindak kita tidak mempesona, menarik dan memikat orang lain. Jika demikian adanya, marilah kita bertobat atau memperbaharui diri. Marilah pertama-sama kita saling mendengarkan, karena jika kita dengan mudah dapat mendengarkan suara saudara kita, maka kita juga akan memperoleh kemudahan untuk mendengarkan suara Tuhan. Mendengarkan membutuhkan keutamaan kerendahan hati, atau mendengarkan dan kerendahan hati bagaikan mata uang bermuka dua: orang yang dapat mendengarkan pada umumnya rendah hati, orang yang rendah hati pada umumnya mudah mendengarkan. "Rendah hati adalah sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Kami berharap keutamaan mendengarkan dan rendah hati ini sedini mungkin dibiasakan pada anak-anak dan tentu saja antara lain dengan teladan dari orangtua atau bapak-ibu. Mendengarkan dan rendah hati hendaknya juga menjadi perhatian di sekolah-sekolah.

 

"Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya! Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun, pada waktu nenek moyangmu mencobai Aku, menguji Aku, padahal mereka melihat perbuatan-Ku"

(Mzm 95:6-9)

 

Jakarta, 11 Maret 2010


Senin, 08 Maret 2010

10 Mar - Ul 4:1,5-9; Mat 5:17-19

"Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya"

(Ul 4:1,5-9; Mat 5:17-19)

 

"Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga" (Mat 5:17-19), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   "Veni, vedi, vici" (= "Aku datang, aku melihat, aku menang"), demikian motto Jendral Cicero, zaman Romawi Kuno, dalam menghayati jabatan dan melaksanakan tugas pengutusannya sebagai komandan tempur/perang. Motto ini kiranya baik kita jadikan motto kita selaras dengan sabda Yesus "Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya". Di dalam hidup dan kerja bersama senantiasa ada aturan atau tatanan yang harus kita taati dan laksanakan, maka marilah kita laksanakan aturan atau tatanan tersebut dengan sepenuh hati dan kesetiaan. Kami harapkan dalam rangka menyikapi aturan dan tatanan tidak hanya demi keuntungan diri sendiri, melainkan demi kesejahteraan atau kebahagiaan bersama ('bonum commune'). Para pemimpin, atasan, petinggi atau pejabat di tingkat atau ranah kehidupan dan kerja dimanapun kami harapkan dapat menjadi teladan dalam penghayatan ajaran-ajaran, pelaksanaan aturan dan tatanan; dalam hidup bersama yang paling dasar, yaitu keluarga, berarti orangtua diharapkan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Keunggulan hidup beriman atau beragama adalah dalam 'penggenapan' atau pelaksanaan atau penghayatan, bukan omongan atau wacana. Untuk mendukung hal ini kiranya kita juga perlu menghayati salah motto Bapak Andrie Wongso ini "Selama kita memiliki kemauan, keuletan, dan keteguhan hati, besi batangan pun bila digosok terus-menerus , pasti akan menjadi sebatang jarum..Miliki keteguhan hati"  Kita perlu memiliki keteguhan hati dalam rangka melaksanakan aneka tatanan dan aturan atau  tugas pekerjaan dan kewajiban. Kita juga diingatkan oleh Yesus bahwa jika kita tidak mentaati dan melaksanakan aturan dan tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita berarti kita adalah manusia yang murahan, tak berkwalitas. 

·   "Ingatlah, aku telah mengajarkan ketetapan dan peraturan kepadamu, seperti yang diperintahkan kepadaku oleh TUHAN, Allahku, supaya kamu melakukan yang demikian di dalam negeri, yang akan kamu masuki untuk mendudukinya.Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi" (Ul 4:5-6). Kita, bangsa Indonesia, kiranya termasuk bangsa besar, namun apakah seluruh bangsa bijaksana dan berakal budi rasanya perlu dipertanyakan. Jika memperhatikan dan mencermati masih maraknya pertentangan, tawuran, korupsi, dst.. nampaknya secara keseluruhan boleh dikatakan bahwa kita masih harus mengupayakan dan memperdalam dalam hal 'bijaksana dan berakal budi'. Kepada mereka yang sungguh bijaksana dan berakal budi, kami harapkan untuk tetap teguh dan tegar sebagai 'umat yang bijaksana dan berakal budi', dan kemudian bersama-sama menyebarluaskan kepada saudara-saudarinya, lebih-lebih yang setiap hari hidup atau bekerja bersama.  Memang usaha itu itu tidak lain adalah mengingatkan dan mengajak saudara-saudari kita untuk 'melakukan ketetapan dan peraturan' yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusannya. Ada rumor "jika kita tidak dapat mengatur diri sendiri, jangan mengatur orang lain; jika kita tak dapat mengurus kamar pribadi, jangan mengurus kantor yang besar itu, dst…". Orang bijaksana dan berakal budi pertama-tama memang harus dapat mengatur dan mengurus diri sendiri sebaik mungkin, sehingga tampil atau menghadirkan diri sedemikian rupa dan menarik, memikat serta mempesona bagi banyak orang. Sekali lagi kami ingatkan: para pemimpin, atasan, petinggi atau pejabat, kami harapkan dapat menjadi teladan dalam hal mengatur dan mengurus diri sendiri alias bijaksana dan berakal budi dalam menghadirkan diri dimanapun dan kapanpun.

 

"Megahkanlah TUHAN, hai Yerusalem, pujilah Allahmu, hai Sion! Sebab Ia meneguhkan palang pintu gerbangmu, dan memberkati anak-anakmu di antaramu. Ia menyampaikan perintah-Nya ke bumi; dengan segera firman-Nya berlari. Ia menurunkan salju seperti bulu domba dan menghamburkan embun beku seperti abu" (Mzm 147:12-13.15-16)

  

Jakarta, 10 Maret 2010

 


9 mar - Dan 3:15.34-43; Mat 18:21-35

"Sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku?"

(Dan 3:15.34-43; Mat 18:21-35)

 

"Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." (Mat 18:21-22), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Kebencian dan balas dendam masih marak dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena ketidaksesuaian selera atau keinginan, orang dapat saling membenci; disakiti sedikit saja kemudian membalas dendam lebih berat atau lebih sakit daripada yang telah diterimanya. Kebencian dan balas dendam ini dapat terjadi antar pribadi, kelompok atau golongan. Maka sabda atau ajaran Yesus perihal hidup saling mengampuni rasanya sungguh mendesak dan up to date  untuk kita hayati dan sebarluaskan dalam kehidupan dan kerja kita sehari-hari, dimanapun dan kapanpun. Yesus mengingatkan kita untuk mengampuni minimal 'tujuh puluh kali tujuh kali', dengan kata lain terus menerus mengampuni, karena rasanya tak ada orang yang sempat atau sanggup menghitung sampai 490 (empat ratus sembilan puluh) kali. Sebenarnya hidup saling mengampuni tidak sulit, jika masing-masing dari kita dengan rendah hati bersedia menyadari dan menghayati bahwa diri kita telah menerima kasih pengampunan Allah secara melimpah ruah melalui orang-orang yang mengasihi dan telah berbuat baik kepada kita, misalnya orangtua, kakak-adik, teman, guru/pendidik, dst… Karena kita telah menerima kasih pengampunan secara melimpah ruah, maka mengampuni berarti tinggal menyalurkan atau meneruskan apa yang telah kita miliki; memang kita dituntut untuk bermurah hati dalam meneruskan kasih pengampunan tersebut. Selama masa Prapaskah ini kepada kita kiranya juga tersedia kesempatan untuk menerima kasih pengampunan secara pribadi dalam upacara pengakuan pribadi. Hendaknya kesempatan untuk mengaku dosa ini sekaligus dijadikan kesempatan untuk mengenangkan atau mengingat-ingat kasih pengampunan yang telah kita terima sejak dilahirkan di dunia ini., sehingga kita dapat menghayati diri sebagai orang berdosa yang telah menerima kasih pengampunan Allah dan dipanggil untuk menjadi pewarta kasih pengampunan dalam hidup sehari-hari.

·   "Kini kami mengikuti Engkau dengan segenap jiwa dan dengan takut kepada-Mu, dan wajah-Mu kami cari. Janganlah kami Kaupermalukan, melainkan perlakukankanlah kami sesuai dengan kemurahan-Mu dan menurut besarnya belas kasihan-Mu.Lepaskanlah kami sesuai dengan perbuatan-Mu yang ajaib, dan nyatakanlah kemuliaan nama-Mu, ya Tuhan" (Dan  3:41-43). Marilah kita mengikuti kehendak Tuhan dengan segenap jiwa, yang berarti gairah, dambaan, kerinduan dan cita-cita sepenuhnya dipersembahkan kepada Tuhan atau diintegrasikan ke dalam kehendak Tuhan. Hendaknya kita juga mohon agar tidak dipermalukan di muka umum karena perbuatan atau perilaku kita yang jahat alias tidak baik. Kehendak Tuhan antara lain dapat kita temukan dalam aneka aturan atau tatanan yang dibuat dan diundangkan demi kesejahteraan kehidupan bersama, maka baiklah kita kenangkan dan ingat-ingat kembali aturan atau tatanan mana saja yang terkait dengan panggilan, pekerjaan dan tugas-tugas kita. Tuhan telah memperlakukan kita sesuai dengan kemurahan hatiNya, maka marilah kita saling bermurah hati dalam rangka menghayati atau melaksanakan aturan dan tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita. Bermurah hati berarti menjual hati dengan murah, artinya terus memperhatikan siapapun, sehingga kita saling memperhatikan. Nama Tuhan sungguh dimuliakan jika kita saling memperhatikan dan mengasihi serta mengampuni. Kita juga diingatkan pentingnya senantiasa mencari wajah Tuhan dalam hidup kita sehari-hari, yang berarti senantiasa melihat dan mengakui apa yang baik dalam diri kita sendiri  maupun sesama kita serta dalam lingkungan hidup kita. Dengan kata lain hendaknya kita senantiasa 'berpikiran positif' daripada 'berpikiran negatif', sehingga kita akan menjadi mahir atau terampil dalam pembedaan roh atau 'spiritual discernment', suatu keterampilan yang sungguh dibutuhkan pada masa kini. Semoga di masa Prapaskah ini anda juga belajar dan memperdalam keterampilan pembedaan roh.

 

"Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari. Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala.Dosa-dosaku pada waktu muda dan pelanggaran-pelanggaranku janganlah Kauingat, tetapi ingatlah kepadaku sesuai dengan kasih setia-Mu, oleh karena kebaikan-Mu, ya TUHAN. TUHAN itu baik dan benar; sebab itu Ia menunjukkan jalan kepada orang yang sesat" (Mzm 25:4-8)

 

Jakarta, 9 Maret 2010


8 Mar - 2Raj 5:1-15a; Luk 4:24-30

"Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya"

(2Raj 5:1-15a; Luk 4:24-30)

 

"Dan kata-Nya lagi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri.Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu." Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu.Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi" (Luk 4:24-30), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Mutu atau kwalitas pendidikan di Indonesia pada umumnya masih kalah dibandingkan dengan beberapa Negara tetangga, misalnya Singapura atau Australia, maka tidak mengherankan jika berberapa orang kaya berambisi untuk mengirimkan anak-anaknya belajar di Negara tersebut setelah lulus SD atau SMP. Tentu saja hanya anak-anak yang cerdas atau pandai dapat belajar di luar negeri. Jika anak orang kaya dan pandai belajar di luar negeri, maka berarti anak-anak pandai/cerdas dan kaya kurang atau tidak menghargai pendidikan di negeri sendiri, maka kwalitas pendidikan di Indonesia begitu-begitu saja alias tidak bertambah. Maklum uang dan anak-anak pandai/cerdas meninggalkan Indonesia. Kami merasa mereka ini kurang  atau tidak menghargai pendidikan di Indonesia, terlibat untuk meningkatkan kwalitas pendidikan di Indonesia. Maka benarlah sabda Yesus bahwa "sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya". Jika orang tidak dapat menghargai dan mengasihi mereka yang dekat dengannya setiap hari, maka ia tak mungkin mengasihi orang lain atau yang jauh, sebaliknya jika orang dengan mudah dan terampil mengasihi mereka yang dekat, mengasihi yang jauh akan lebih mudah. Tidak mampu mengasihi yang dekat, maka mengasihi yang jauh pasti akan menindas, sedangkan mampu mengasihi yang dekat, maka mengasihi yang jauh akan melayani. Dengan ini kami berharap kepada kita semua: marilah di dalam keluarga atau komunitas kita masing-masing, kebersamaan hidup terkecil dan dasar, kita saling mengasihi dan menghargai. Pengalaman saling mengasihi dalam hidup bersama di dalam keluarga akan menjadi kekuatan dan modal untuk saling mengasihi dalam hidup dan kerja bersama yang lebih luas di masyarakat.

·   "Maka turunlah ia membenamkan dirinya tujuh kali dalam sungai Yordan, sesuai dengan perkataan abdi Allah itu. Lalu pulihlah tubuhnya kembali seperti tubuh seorang anak dan ia menjadi tahir" (2Raj 5:14), demikian berita perihal penyembuhan Naaman, raja Aram, orang asing bagi bangsa Israel.  Begitulah yang terjadi: orang-orang asing percaya kepada 'abdi Allah'/nabi, sedangkan bangsanya sendiri tidak percaya. Pada masa kini cukup ramai ditemukan dan dipakai aneka macam jenis obat tradisional, entah berupa buah atau tanaman atau daun daripada aneka jenis tablet buatan pabrik. Memang kebanyakan orang lebih percaya pada tablet-tablet atau kemasan makanan dan minuman, produksi pabrik, padahal semuanya itu berasal dari aneka buah atau daun yang ada di sekitar lingkungan hidup kita. Kami mengharapkan kita semua untuk 'kembali ke alam atau lingkungan hidup' kita masing-masing dalam rangka mengusahakan dan menjaga kesehatan dan kebugaran diri kita. Di sekitar lingkungan hidup kita kiranya cukup banyak jenis buah dan daun, yang nampak biasa-biasa saja, tetapi sungguh fungsional demi kesehatan. Mungkin jika buah atau daun yang dimaksud tidak ada, kiranya dapat diusahakan dari tempat lain dan kemudian kita menanam jenis tanaman yang daun atau buahnya dapat fungsional sebagai obat atau penyehat diri kita. Yang tidak kalah penting adalah menghargai dan menikmati aneka jenis makanan dan minuman yang telah disediakan di dalam keluarga atau komunitas, tidak mencari di tempat lain. Ketika kita dapat saling menikmati makanan atau minuman yang tersedia atau disediakan di keluarga atau komunitas, maka kita juga akan dapat saling mengasihi dan menghargai.

 

"Suruhlah terang-Mu dan kesetiaan-Mu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunung-Mu yang kudus dan ke tempat kediaman-Mu! Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah, yang adalah sukacitaku dan kegembiraanku, dan bersyukur kepada-Mu dengan kecapi, ya Allah, ya Allahku!" (Mzm 43:3-4)

      

Jakarta, 8 Maret 2010