Mg Biasa XXI: Yes 22:19-23; Rm 11:33-36; Mat 16:12-20
"Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga."
"Roma berkata habis perkara", demikian sebuah rumor yang menunjukkan bahwa Paus memiliki kuasa magisterium tertinggi, artinya apa yang diajarkan oleh Paus mengikat semua anggota Gereja Katolik. Sekilas hal ini terkesan diktator, dan memang jika hal itu dilakukan sewenang-wenang alias hanya mengikuti keinginan atau selera pribadi sungguh diktator. Cukup banyak pemimpin di dunia ini menghayati kepemimpinannya agak diktator, tidak hanya pemimpin masyarakat, bangsa atau Negara, tetapi juga pemimpin agama seperti pastor, pendeta, kyai dst.., juga kepala keluarga. Mereka agaknya gila kuasa, gila harta dan gila kehormatan duniawi, sehingga ketika tidak ada harta, kuasa atau kehormatan duniawi tinggal 'gila'nya alias menjadi gila atau sinting. Yesus memberi Petrus kunci Kerajaan Sorga, "Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." (Mat 16:19), demikian sabda Yesus kepadanya. Kuasa ini diberikan kepada Petrus, setelah Petrus diuji keimanannya serta menjawab pertanyaan Yesus dan dengan sepenuh hati berkata kepadaNya: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Mat 16:17). Dengan kata lain Petrus dalam semangat iman akan menghayati kuasa yang diterimanya. Maka baiklah kami mengajak siapapun yang berfungsi sebagai pemimpin untuk mawas diri: apakah menghayati kepemimpinannya dalam dan dengan semangat iman.
"Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga."(Mat 16:18-19)
Seorang pemimpin dalam mengawali tugasnya pada umumnya bersumpah atau berjanji untuk memfungsikan tugas memimpin dengan semangat melayani, misalnya hendak menjadi pelayan atau abdi rakyat, pelayan bagi mereka yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan kata lain pemimpin berkehendak untuk bersama dengan rakyat melangkah maju bersama, membangun dan memperdalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan pemimpin agama berkehendak untuk hidup dan kerja bersama umat dalam menghayati aneka ajaran atau arahan sebagai tertulis di dalam kitab suci maupun kebijakan-kebijakan. Menghayati tugas memimpin dengan semangat melayani memang berarti menghayati kepemimpinan dalam dan dengan iman.
"Iman adalah anugerah Allah atau kebajikan adikodrati yang dicurahkan olehNya. 'Supaya orang dapat percaya seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati, dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan 'pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran" (Katekismus Gereja Katolik no 153). Dari kutipan ini kiranya yang baik kita renungkan adalah 'menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah', dengan kata lain hati sepenuhnya terarah dan dikuasai oleh Allah, sehingga mempersembahkan dan mengandalkan diri sepenuhnya kepada Allah. Allah hidup dan berkarya dalam semua ciptaan-ciptaanNya, dan tentu saja terutama dalam diri manusia, yang diciptakan sesuai dengan gambar atau citraNya. Maka menghayati kepemimpinan dalam dan semangat iman berarti senantiasa mencari dan menghayati kehendak Allah yang ada dalam setiap pribadi manusia, antara lain menjadi nyata dalam harapan, dambaan, cita-cita, suka-duka dan kehendak baik manusia.
Kami berharap kepada para pemimpin di tingkat dan bidang kehidupan apapun untuk senantiasa mendengarkan dan melaksanakan dengan rendah hati aneka harapan, dambaan, cita-cita, suka-duka dan kehendak baik dari yang dipimpinnya. Dengan kata lain keberhasilan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya adalah semua yang dipimpin hidup dalam damai sejahtera, sehat wal'afiat, selamat dan bahagia baik lahir maupun batin, jasmani maupun rohani. Hendaknya para pemimpin tidak hidup dan bertindak hanya mengikuti selera pribadi tetapi sesuai dengan janji-janji yang telah diikrarkan, yaitu menjadi pelayan bagi yang dipimpin; hendaknya menyadari bahwa segala cara hidup dan cara bertindak seorang pemimpin akan mempengaruhi cara hidup dan cara bertindak yang dipimpin. Maka kami berharap para pemimpin tidak bersikap mental egoistis, hanya mementingkan diri sendiri, untuk memperkaya diri beserta keluarga dan kerabatnya, melainkan rela berkorban demi kebahagiaan dan keselamatan yang dipimpin.
"O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya"(Rm 11:33-36) Allah adalah mahasegalanya, maka tak mungkin manusia sebagai ciptaanNya ingin mengetahui secara sempurna siapa Dia atau menguasaiNya. Semakin berkeinginan untuk mengetahui Allah akan semakin tidak mengetahuiNya, sebagaimana pernah dialami oleh St.Agustinus. Agustinus, orang yang cerdas dan suci, ahli filsafat dan teologi, berusaha untuk mengetahui secara logis perihal Allah Tritunggal: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ia telah banyak berpikir dan berdoa untuk hal itu, namun tak kesampaian juga. Maka pada suatu saat mencoba cari inspirasi di tempat yang sepi, yaitu di pantai. Ia berjalan-jalan di atas pasir pantai sambil merenung, tiba-tiba ada seorang anak kecil berlari bolak-balik dari suatu lobang di atas pasar ke air laut, dengan menciduk air laut untuk kemudian dimasukkan ke dalam lobang. "Apa yang kau lakukan nak"?, sapaan Agustinus kepada anak tersebut.
"Bapa, saya mau memasukkan semua air laut ke dalam lobang ini", jawab sang anak. "Ah tak mungkin kau melakukannya, karena lobang ini begitu kecil dan air laut luar biasa banyaknya" tanggapan Agustinus. "Benar bapa, sama seperti yang sedang bapa pikirkan", jawab sang anak, dan langsung menghilang dari muka Agustinus. Agustinus merasa menerima wahyu Allah, jawaban Allah atas kebingungannya, yaitu Allah memang tak dapat diketahui sepenuh dengan akal sehat.
Kita semua mengaku diri sebagai orang beriman dan percaya kepada Allah, namun cara kita berrelasi atau beribadah kepada Allah ada aneka ragam, tergantung pemahaman dan gambaran kita tentang Allah. Hendaknya disadari dan dihayati bahwa pemahaman dan gambaran kita perihal Allah adalah sangat terbatas, dengan kata lain hanya sebagian kecil saja. Maka hendaknya tidak ada seorangpun yang dapat menyombongkan diri bahwa dirinya sungguh mengetahui Allah dengan sempurna dan yang lain salah mengetahuiNya alias tersesat. Dengan kata lain marilah sebagai orang-orang yang percaya kepada Allah tanpa memandang SARA, kita saling curhat, saling menghormati keterbatasan kita masing-masing, saling menghargai pemahaman perihal Allah, dst…, sehingga kebersamaan hidup sebagai orang-orang yang percaya kepada Allah sungguh damai, selamat dan bahagia, penuh dengan persaudaraan atau persahabatan sejati.
Marilah kita sadari dan hayati bahwa kita semua adalah milik Allah, segala sesuatu yang kita kuasai, nikmati atau miliki saat ini adalah angerah Allah, yang kita terima melalui aneka bentuk kebaikan saudara-saudari kita kapan dan dimanapun. Marilah kita fungsikan segala apa yang kita miliki, kuasai atau nikmati saat ini sedemikian rupa sehingga kita semakin mengandalkan atau mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah alias semakin suci. Tanda bahwa hal itu terjadi dalam diri kita antara lain kita tak pernah menyakiti atau mengecewakan orang lain, cara hidup dan cara bertindak kita begitu mempesona, menarik dan memikat orang lain untuk semakin berbakti kepada Allah serta berbuat baik kepada sesamanya. "Aku hendak bersyukur kepada-Mu dengan segenap hatiku, di hadapan para allah aku akan bermazmur bagi-Mu. Aku hendak sujud ke arah bait-Mu yang kudus dan memuji nama-Mu, oleh karena kasih-Mu dan oleh karena setia-Mu; sebab Kaubuat nama-Mu dan janji-Mu melebihi segala sesuatu.Pada hari aku berseru, Engkau pun menjawab aku, Engkau menambahkan kekuatan dalam jiwaku."(Mzm 138:1-3)