"Perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
(Hak 2:11-19; Mat 19:16-22)
" Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah." Kata orang itu kepada-Nya: "Perintah yang mana?" Kata Yesus: "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya" (Mat 19:16-22), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Semua orang beriman atau beragama kiranya mendambakan setelah dipanggil Tuhan alias meninggal dunia akan menikmati hidup kekal dan berbahagia selamanya di surga bersama dengan Allah, dan untuk itu selama hidup di dunia ini diharapkan 'hidup sempurna'. "Jikalau engkau hendak sempurna, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin", demikian sabda Yesus. Secara harafiah sabda ini kiranya tak ada seorangpun yang sanggup melakukannya. Maksud sabda ini antara lain adalah jika kita mendambakan hidup mulia, selamat dan berbahagia selamanya setelah meninggal dunia atau 'hidup sempurna' selama di dunia ini, hendaknya menghayati dan memfungsikan apapun yang kita miliki atau kuasai pada saat ini sesuai dengan kehendak Tuhan, yaitu sebagai sarana untuk mengusahakan keselamatan jiwa, baik jiwa kita sendiri maupun jiwa orang lain. Dengan kata lain keselamatan jiwa manusia hendaknya senantiasa menjadi acuan, pedoman atau tujuan dari segala usaha dan sepak terjang kita, segala kesibukan serta cara hidup dan cara bertindak kita. Secara khusus kami berharap kepada mereka yang kaya akan harta benda atau uang untuk dengan jiwa besar dan hati rela berkorban memperhatikan mereka yang miskin dan berkekurangan dalam lingkungan hidupnya. Kepada para pengusaha yang mempekerjakan aneka orang dalam usahanya kami harapkan memberi jaminan sosial yang memadai, tidak hanya berpedoman pada UMP atau UMR saja. Secara umum kami berharap agar kita setia pada aneka tata tertib yang berlaku dalam hidup, panggilan dan tugas kita masing-masing serta tidak melakukan korupsi sedikitpun. Marilah kita semua berusaha untuk hidup sederhana, tidak berfoya-foya. Marilah meneladan Yesus, yang walaupun kaya telah memiskinkan diri demi keselamatan seluruh bangsa manusia di dunia.
· "Apabila hakim itu mati, kembalilah mereka berlaku jahat, lebih jahat dari nenek moyang mereka, dengan mengikuti allah lain, beribadah kepadanya dan sujud menyembah kepadanya; dalam hal apa pun mereka tidak berhenti dengan perbuatan dan kelakuan mereka yang tegar itu" (Hak 2:19). Hakim adalah utusan Allah untuk mengingatkan umat agar tidak berbuat jahat serta mengajak mereka untuk senantiasa beribadah kepada Allah. Dengan kata lain hakim adalah pembawa dan pejuang kebenaran. Maka dengan ini kami mengingatkan dan mengajak para hakim untuk tidak takut membawa dan memperjuangkan kebenaran. Hendaknya para hakim tidak menghayati rumor ini "Hubungi Aku Kalau Ingin Menang"; maklum tidak sedikit hakim di Indonesia menghayati rumor tersebut dalam melaksanakan tugas pengutusannya, karena takut diancam mati atau digeser dari jabatannya. Sikap mental materialistis menjiwai banyak orang, lebih-lebih orang kaya, yaitu ketika terlibat dalam masalah hukum, mereka cenderung untuk menang dengan membayar sebanyak-banyaknya kepada hakim. Tak ketinggalan juga ada jaksa untuk memalsukan kebenaran. Kami berharap agar anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dididik dan dibina sebagai pembela dan pejuang kebenaran, dan untuk itu hendaknya orangtua dapat menjadi teladan kebenaran. Jauhilah sikap mental materialistis, dimana harta benda atau uang menjadi 'tuan' alias yang menentukan dan mengarahkan cara hidup dan cara bertindak kita. Harta benda atau uang memang perlu untuk hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita, dan untuk itu hendaknya difungsikan sesuai pedoman 'intentio dantis' (=maksud pemberi), dan tentu saja pemberian yang bermaksud jahat harus ditolak.
"Mereka tidak memunahkan bangsa-bangsa, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada mereka, tetapi mereka bercampur baur dengan bangsa-bangsa, dan belajar cara-cara mereka bekerja. Mereka beribadah kepada berhala-berhala mereka, yang menjadi perangkap bagi mereka. Mereka mengorbankan anak-anak lelaki mereka, dan anak-anak perempuan mereka kepada roh-roh jahat," (Mzm 106:34-37)
Ign 15 Agustus 2011