"Kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit"
(2Mak 7:1a.20-23.27-29; Luk 12:4-9)
"Aku berkata kepadamu, hai sahabat-sahabat-Ku, janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Aku akan menunjukkan kepada kamu siapakah yang harus kamu takuti. Takutilah Dia, yang setelah membunuh, mempunyai kuasa untuk melemparkan orang ke dalam neraka. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, takutilah Dia! Bukankah burung pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguhpun demikian tidak seekor pun dari padanya yang dilupakan Allah, bahkan rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit. Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah.Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, ia akan disangkal di depan malaikat-malaikat Allah."(Luk 12:4-9),demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan pesta St.Paulus Miki, imam dan kawan-kawannya, martir, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Martir adalah pembela iman, yang berani mati demi imannya; itulah yang dialami oleh Paulus Miki dan kawan-kawannya di Jepang. Dambaan atau kerinduan seorang martir adalah keselamatan jiwanya. Pada masa kini kiranya jarang terjadi umat beriman mati karena imannya. Sebagaimana umat beriman kita mimiliki tugas menghayati jiwa kemartiran, maka marilah kita mawas diri sejauh mana kita setia pada panggilan untuk menjadi 'martir' masa kini. Kesetiaan pada iman, yang berarti hidup baik dan berbudi pekerti luhur, merupakan panggilan hidup kita masa kini. Marilah dalam cara hidup dan cara bertindak kita berpedoman pada motto ini: "jiwa lebih penting daripada tubuh, tubuh lebih penting daripada makanan dan pakaian, tubuh kita alias manusia lebih penting daripada binatang maupun tumbuh-tumbuhan serta barang atau harta benda". Kami juga berharap kepada kita semua untuk tidak malu dan tidak takut mengakui dan menghayati jati diri yang benar, misalnya sebagai umat beragama berani mengakui agamanya serta menghayati ajaran utama dari agamanya dengan setia. Jiwa kemartiran masa kini juga dapat dihayati dengan setia pada panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing: suami-isteri setia saling mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit sampai mati, yang terpanggil menjadi imam, bruder atau suster setia menghayati panggilannya sampai mati. Hidup jujur dan tidak korupsi pada masa kini hemat saya juga merupakan bentuk penghayatan jiwa kemartiran, maka kami berharap para pegawai, pejabat, pemimpin dst.. untuk hidup jujur dan tidak melakukan korupsi dalam bentuk apapun.
· "Aku tidak tahu bagaimana kamu muncul dalam kandungku. Bukan akulah yang memberi kepadamu nafas dan hidup atau menyusun bagian-bagian pada badanmu masing-masing! Melainkan Pencipta alam semestalah yang membentuk kelahiran manusia dan merencanakan kejadian segala sesuatunya. Dengan belas kasihan-Nya Tuhan akan memberikan kembali roh dan hidup kepada kamu, justru oleh karena kamu kini memandang dirimu bukan apa-apa demi hukum-hukum-Nya."(2 Mak 2:22-23), demikian kata seorang ibu kepada anak-anaknya yang akan dihukum mati karena setia pada iman kepercayaan mereka. Ungkapan kata-kata yang sungguh mulia dan dijiwai penyerahan diri total pada Penyelenggaraan Ilahi. Apa yang dikatakan oleh seorang ibu di atas kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi bagi para ibu. "Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia", demikian syair sebuah lagu yang menggambarkan kasih ibu kepada anak-anaknya. Cinta kasih itu bebas dan membebaskan yang dicintai, maka kami mengingatkan dan berharap pada para ibu: hendaknya kasih ibu kepada anak-anak sungguh membebaskan anak-anak, jauhkan sikap mental feodal dari anda para ibu. Kami berharap anak-anak sungguh dididik dan didampingi dengan semangat cintakasih dan kebebasan Injili, tidak didikte terus menerus. Hendaknya mendampingi dan mendidik anak dengan motto bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, yaitu "ing arso asung tulodho, ing madyo ambangun karso, tut wuri handayani" (keleladanan, pemberdayaan dan motivasi). Keteladanan dan pemberdayaan rasanya pada masa kini kurang memperoleh perhatian yang memadai dalam dunia pendidikan, entah di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Menjadi teladan yang bebas merdeka sejati, alias lepas bebas dari aneka keterikatan yang tak teratur, pada masa kini juga merupakan bentuk penghayatan kemartiran hidup beriman.
"Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu. Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu. Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau. Terpujilah Engkau, ya TUHAN; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku. Dengan bibirku aku menceritakan segala hukum yang Kauucapkan.Atas petunjuk peringatan-peringatan-Mu aku bergembira, seperti atas segala harta"(Mzm 119:9-14).
Jakarta, 6 Februari 2010