Fans Page Facebook http://imankatolik.or.id

imankatolik.or.id on Facebook

Sabtu, 19 Februari 2011

Minggu Biasa VII - Mg Biasa VII : Im 19:1-2.17-18; 1Kor 3:16-23; Mat 5:38-48

"Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu".
Mg Biasa VII : Im 19:1-2.17-18; 1Kor 3:16-23; Mat 5:38-48

Ketika Paus Yohanes Paulus II telah sembuh dari sakit karena ditembak oleh seseorang, maka Yang Mulia segera mendatangi si penembak di penjara untuk mengampuni kesalahan dan dosa-dosanya. Apa yang dilakukan oleh Paus ini kiranya sesuai dengan sabda Yesus: "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu". Memang untuk menghayati sabda Yesus ini pada masa kini sungguh merupakan tantangan dan berat, namun demikian marilah kita yang beriman kepadaNya dengan rendah hati dan bekerjasama berusaha untuk saling mendoakan dan mengampuni terhadap siapapun dan dimanapun.


"Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Mat 5:43-44). Pada umumnya orang dengan mudah membalas dendam terhadap orang yang telah menyakitinya, dan balas dendamnya juga lebih berat dan hebat, sebagai contoh apa yang terjadi dengan kerusuhan yang dilakukan oleh kelompok tertentu di negeri ini, antara lain sampai membunuh orang, membakar dan merusak fasilitas ibadat agama lain, dst.. Bahkan ada orang dirasani sedikit dengan mudah menjadi marah-marah dan geram berusaha mencari orang yang 'ngrasani', dan jika bertemu pasti akan dibalas dengan tindakan phisik yang menyakitkan. Saya melihat dan memperhatikan bahwa balas dendam ini sampai kini masih terjadi di tingkat akar rumput sampai dengan tingkat tinggi, di antara rakyat biasa sampai dengan pejabat tinggi/Negara.

Kita semua kiranya memiliki 'musuh', dan bohong jika mengatakan tidak memiliki 'musuh'. Apa yang saya maksudkan dengan 'musuh' di sini adalah apa-apa saja yang tidak sesuai dengan selera pribadi atau tak berkenan di hati, entah itu orang, makanan atau minuman, binatang, tanaman, situasi, dst.. Bahkan juga ada orang yang memusuhi sinar matahari atau air hujan, antara lain selalu melindungi diri dari sinar matahari dengan aneka cara dan mengubah tanah resapan air hujan atau penampungan air hujan menjadi bangunan beton yang kokoh, tak tembus air. Dampak dari memusuhi ini adalah penderitaan umat manusia. Sebagai murid atau pengikut Yesus kita dipanggil untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka yang membenci atau menyakiti kita, maka marilah kita lihat dan kenangkan apa dan siapa saja yang memusuhi dan membenci kita, kemudian kita kasihi dan doakan.


Sebagai contoh  sederhana dan umum adalah makanan dan cuaca. Hendaknya dalam hal makan berpedoman pada sehat dan tidak sehat, bukan enak dan tidak enak; dengan kata lain jika makanan sehat hendaknya disantap saja, meskipun tidak enak, kalau perlu langsung telan saja karena Tuhan telah menganugerahkan mesin pengolah makanan yang hebat dalam tubuh kita. Demikian juga dalam hal cuaca, hendaknya nikmati saja cuaca dingin atau panas untuk melatih kekebalan dan memperkembang-kan serta mengkokohkan anti-body dalam tubuh kita. Ingat dan sadari ketika ada wabah penyakit, kita sering menerima vaksin, yang tidak lain adalah ke dalam tubuh kita disuntikkan virus untuk memancing kekebalan tubuh. Memang virus-virus bertebaran di udara bebas, sehingga mereka yang tidak memiliki kekebalan tubuh yang memadai pasti akan jatuh sakit, sebaliknya pada orang yang memiliki kekeban tubuh pasti tak akan jatuh sakit. Maka bina dan perdalam kekebalan tubuh antara lain dengan menikmati cuaca apa adanya. Hemat saya ketika orang tidak menghadapi masalah dalam hal makan dan cuaca, maka dengan mudah ia menghayati sabda Yesus "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu", sebaliknya jika ada orang bermasalah dalam hal makanan dan cuaca, maka orang yang bersangkutan dengan mudah juga 'membenci musuh'.  Maka baiklah kita renungkan sapaan Paulus kepada umat di Korintus di bawah ini. 

"Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu" (1Kor 3:16-17).

Masing-masing dari kita adalah bait Allah dan "Roh Allah diam di dalam dir kita masing-masing'.  Karena Roh Allah ada di dalam diri kita masing-masing, maka dari cara hidup dan cara bertindak kita akan berbuahkan keutamaan-keutamaan seperti "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri."(Gal 5:22-23). Keutamaan-keutamaan ini hendaknya menjadi senjata dalam rangka menghadapi musuh atau mereka yang menganiaya kita dalam bentuk apapun, dimanapun dan kapanpun. Mungkin baik kita renungkan perihal 'penguasaan diri', yang menurut hemat saya mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan dalam kehidupan bersama kita masa kini.


Jika kita dapat menguasai diri dengan baik, maka sikap kita terhadap orang lain pasti akan lemah lembut dan melayani, sebaliknya jika kita tak dapat menguasai diri, maka sikap terhadap orang lain pasti akan kasar, keras dan menindas. Untuk melatih penguasaan diri antara lain bertapa, matiraga atau lakutapa. Ada nasihat dari orangtua perihal 'topo ing rame' (= bertapa/lekutapa/matiraga dalam keramaian atau hiruk pikuk). Maksud nasihat ini antara lain berkonsentrasi dalam melaksanakan tugas pengutusan tertentu alias mempersembahkan diri seutuhnya kepada tugas yang harus dikerjakan, sehingga tidak tergoda untuk menyeleweng atau 'selingkuh'. Misalnya sebagai pelajar sungguh belajar dan sebagai pekerja sungguh bekerja. Marilah penguasaan diri ini kita biasakan pada anak-anak kita di dalam keluarga dan kemudian diperdalam di sekolah-sekolah.

Kita juga diingatkan bahwa jika kita membinasakan manusia sebagai bait Allah berarti membenci Allah dan dengan demikian kita dengan sendirinya terhukum. Para pembunuh amatiran, bayaran maupun spontanitas kiranya  dirinya merasa takut dan terancam terus menerus, tidak bebas merdeka bergaul dengan siapapun. Sebagai manusia, ciptaan Allah, gambar dan citra Allah, kita semua dipanggil untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi dalam keadaan apapun dan dimanapun. Bagi kita di Indonesia, marilah kita hayati sila kedua dari Pancasila, yaitu "Perikemanusiaan yang adil dan beradab".  Adil dan beradab bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan dan tak dapat dipisahkan. Orang beradab pasti bertindak adil, dan orang adil pada umumnya beradab. Keadilan yang paling mendasar hemat saya adalah 'hormat pada atau menjunjung tinggi harkat martabat manusia'., dengan kata lain manusiawi. Jika kita hidup secara manusiawi kiranya akan berkembang dan bergerak ke ilahi atau spiritual, dan dengan demikian kita menghayati diri sebagai 'bait Allah' dan 'Roh Kudus diam dalam diri kita'. Marilah kita hayati nasihat ini ;"Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN"( Im 19:17-18).               

"Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat" (Mzm 103:1-4)



Jakarta, 20 Februari 2011
     





Jumat, 18 Februari 2011

19 Feb - Ibr 11:1-7; Mrk 9:2-13

"Betapa bahagianya kami berada di tempat ini"
(Ibr 11:1-7; Mrk 9:2-13)

"Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendirian saja. Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka,  dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu.  Maka nampaklah kepada mereka Elia bersama dengan Musa, keduanya sedang berbicara dengan Yesus.  Kata Petrus kepada Yesus: "Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia."  Ia berkata demikian, sebab tidak tahu apa yang harus dikatakannya, karena mereka sangat ketakutan.  Maka datanglah awan menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara: "Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia."  Dan sekonyong-konyong waktu mereka memandang sekeliling mereka, mereka tidak melihat seorang pun lagi bersama mereka, kecuali Yesus  seorang diri.  Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka, supaya mereka jangan menceriterakan kepada seorang pun apa yang telah mereka lihat itu, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati."(Mrk 9:2-9), demikian kutipan Warta Gembira hari ini


Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
•    Di dalam psikologi agama dikenal adanya pengalaman mempesona ('fascinosum') dan menghentak ('tremendum'). Entah pengalaman mempesona atau menghentak pada umumnya akan mempengaruhi hidup orang yang mengalami, bahkan yang mengalami sering kemudian menyatakan niat atau kehendak tertentu. Tiga rasul: Petrus, Yakobus dan Yohanes mengalami hiburan rohani yang mendalam atau pengalaman 'fascinosum' di sebuah gunung dan kemudian mereka akan membuat sesuatu. Dalam perjalanan turun gunung Yesus berpesan kepada mereka agar mereka tidak menceriterakan pengalaman tersebut 'sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati'. Dari peristiwa di gunung ini sampai bangkit dari antara orang mati Yesus harus menghadapi aneka penderitaan dan tantangan, dan para murid belum siap sepenuhnya diajak menghadapi penferitaan dan tantangan tersebut. Kita semua kiranya pernah memiliki pengalaman mempesona dalam perjalanan hidup kita, misalnya saat melakukan latihan rohani atau retret, saat saling menerimakan sakramen perkawinan, ditahbiskan menjadi imam atau kaul kekal/akhir, dst.. Kami percaya pada saat-saat macam itu dari kedalaman lubuk hati kita muncul niat atau cita-cita mulia dan indah, meskipun belum tahu persis bagaimana mewujudkan niat atau cita-cita tersebut. Namun demikian baiklah kami mengingatkan kita semua: ketika kita berada dalam keadaan lesu, frustrasi dan takut dalam menghayati panggilan atau melaksanakan tugas pengutusan, marilah kita kenangkan atau hadirkan kembali pengalaman mempesona tersebut, agar kita tetap bergariah, ceria dan dinamis dalam menghayati panggilan maupun melaksanakan tugas pengutusan.


•    "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat."(Ibr 11:1). Kutipan ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita sebagai umat beriman. Sebagai umat beriman kita diharapkan dalam dan dengan semangat iman hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Beriman berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan dan dengan demikian hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak atau perintah Tuhan. Salah satu perintah Tuhan bagi kita adalah 'saling mengasihi satu sama lain', maka marilah kita hidup saling mengasihi dengan siapapun dan dimanapun, karena kita semua mengakui diri sebagai orang beriman. Kita juga diingatkan bahwa iman adalah 'bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat'.  Kami percaya kita semua memiliki pengalaman ini, misalnya ketika sedang menikmati makanan enak. Bukankah kita tidak pernah mau tahu atau melihat jenis dan macam apa saja bumbu-bumbu  masak  yang dicampur dalam makanan tersebut , melainkan kita percaya sepenuhnya serta langsung menyantap saja. Maka dengan rendah hati kami mengajak dan mengingatkan kita semua: marilah pengalaman iman/percaya dalam hal makanan tersebut juga kita hayati dalam bidang kehidupan lainnya setiap hari. Marilah kita tingkatkan saling percaya kita satu sama lain. Kami merasa pada masa kini sungguh terjadi 'krisis kepercayaan antar kita', karena kebanyakan dari kita tidak dapat dipercaya lagi. Maka untuk meningkatkan saling percaya satu sama lain, antara lain saya pribadi harus berusaha keras untuk menjadi orang yang dapat dipercaya.  Menjadi orang dapat dipercaya berarti bermoral dan berbudi pekerti luhur, tidak pernah korupsi, berbohong, menyakiti orang lain dst…


"Setiap hari aku hendak memuji Engkau, dan hendak memuliakan nama-Mu untuk seterusnya dan selamanya.
Besarlah TUHAN dan sangat terpuji, dan kebesaran-Nya tidak terduga. Angkatan demi angkatan akan memegahkan pekerjaan-pekerjaan-Mu dan akan memberitakan keperkasaan-Mu. Semarak kemuliaan-Mu yang agung dan perbuatan-perbuatan-Mu yang ajaib akan kunyanyikan" (Mzm 145:2-5)





Rabu, 16 Februari 2011

18 Feb - Kej 11:1-9; Mrk 8:34-9:1

"Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku."

(Kej 11:1-9; Mrk 8:34-9:1)

 

"Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusia pun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus. Kata-Nya lagi kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat bahwa Kerajaan Allah telah datang dengan kuasa." (Mrk 8:34-9:1), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Sebagai orang  beriman kita tidak dapat berbuat seenaknya hanya mengikuti selera pribadi, demi enaknya sendiri. Kita dipanggil untuk 'menyangkal diri atau menyerahkan nyawa'. Nyawa adalah gairah, semangat atau cita-cita, maka marilah kita persembahkan gairah, semangat atau cita-cita kita kepada Tuhan, secara konkret berarti hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan setiap hari dengan mentaati dan melaksanakan aneka tata tertib yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing. Cukup banyak tata tertib, entah itu berupa undang-undang, peraturan, kebijakan dst.. yang harus kita taati dan laksanakan. Rasanya orang-orang Indonesia masih cukup sulit untuk mentaati dan melaksanakan tata tertib, antara lain hal itu nampak di jalanan, dimana para pengendara mobil atau motor maupun pejalan kaki sering melanggar rambu-rambu lalu lintas seenaknya. Apa yang terjadi di jalanan merupakan cermin kwalitas kepribadian warga masyarakat atau bangsa.  Maka juga tidak mengherankan para penegak hukum melaksanakan tugasnya tidak jujur atau tidak sesuai dengan kebenaran karena tergiur oleh uang. Sabda hari ini mengajak kita semua untuk setia pada tugas pengutusan atau panggilan kita masing-masing setiap hari, masing-masing dari kita berfungsi secara optimal dalam fungsi atau peran kita dalam hidup atau bekerja bersama, sebagaimana terjadi dalam anggota tubuh kita. Kebiasaan untuk 'menyangkal diri dan memikul salibnya sendiri' hendaknya sedini mungkin dididikkan pada anak-anak dengan teladan konkret dari orangtua atau bapak-ibu.

·   "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing."(Kej 11:6-7), demikian firman Tuhan. Hukuman dari Tuhan ini terjadi karena manusia hidup dan bertindak seenaknya sendiri atau sesuai selera pribadi, sehingga tidak ada kebersamaan. Masing-masing merasa dan menghayati dirinya yang benar secara mutlak dan yang lain salah. Semangat egois secara pribadi maupun kelompok atau golongan/partai hemat saya juga masih terjadi di Indonesia masa kini, antara lain nampak dalam kasus Bank Century maupun Gayus. Entah di DPR maupun dip roses pengadilan terjadi kekacauan karena masing-masing hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. 'Menyelesaikan kasus atau masalah dengan melahirkan kasus atau masalah baru' itulah yang terjadi, sehingga hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kacau balau, krisis kepercayaan, entah percaya diri maupun percaya terhadap orang lain terjadi dan sungguh memprihatinkan. Karena tidak percaya kepada orang lain maka mereka yang tak bermoral dan terdidik main hakim sendiri, dan dengan demikian kekacauan semakin membesar. Marilah kita memakai bahasa yang sama, bukan bahasa masing-masing, yaitu 'bahasa cinta'. Cinta pertama-tama bukan untuk diomongkan atau dijadikan bahan diskusi, melainkan dilaksanakan atau dihayati; cinta lebih berarti dalam tindakan atau perilaku. Ingat dan hayati bahwa masing-masing dari kita adalah 'buah cinta' atau 'yang tercinta', maka selayaknya bertemu dengan orang lain atau sesama manusia secara otomatis saling mencintai. Marilah kita sadari dan hayati bahwa aneka macam bentuk penyakit dan penderitaan terjadi karena dosa dan kesalahan manusia.

 

"TUHAN menggagalkan rencana bangsa-bangsa; Ia meniadakan rancangan suku-suku bangsa; tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun. Berbahagialah bangsa, yang Allahnya ialah TUHAN, suku bangsa yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya sendiri! TUHAN memandang dari sorga, Ia melihat semua anak manusia; dari tempat kediaman-Nya Ia menilik semua penduduk bumi"

(Mzm 33:10-14)

Jakarta, 18 Februari 2011


17 Feb - Kej 9:1-13; Mrk 8:27-33

"Engkau adalah Mesias!"

(Kej 9:1-13; Mrk 8:27-33)


"Kemudian Yesus beserta murid-murid-Nya berangkat ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi. Di tengah jalan Ia bertanya kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Kata orang, siapakah Aku ini?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi." Ia bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Petrus: "Engkau adalah Mesias!" Lalu Yesus melarang mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia. Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari. Hal ini dikatakan-Nya dengan terus terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia. Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."(Mrk 8:27-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Konsekwen atau setia pada apa yang dikatakan atau dijanjikan rasanya tidak mudah. Cukup banyak orang dengan mudah mengatakan atau menjanjikan sesuatu, namun tidak ada pelaksanaannya sedikitpun, sebagaiimana dijanjikan oleh para pemimpin bangsa atau tokoh-tokoh politik dalam kampanye atau kunjungan resmi: mereka menjanjikan hal-hal yang baik, indah dan menghibur, namun tak ada pelaksanaan sedikitpun. Kebohongan itulah yang sering terjadi. Dialog antara Yesus dengan para murid sebagaimana diwartakan hari ini kiranya dapat menjadi bahan permenungan atau refleksi kita. Atas nama para murid Petrus mengakui bahwa Yesus adalah Mesias, namun Yesus tahu bahwa pengakuan tersebut hanya di bibir saja, belum merasuk ke dalam hati dan tubuh. Ketika Yesus menceriterakan bahwa Ia harus menanggung banyak penderitaan "Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia". Petrus hanya memikirkan apa yang dipikir manusia, bukan yang dipikirkan oleh Allah. Kiranya kita tidak terlalu jauh dengan Petrus, yang hanya memikirkan apa yang dipikirkan manusia saja, sehingga cara hidup dan cara bertindak kita lebih dijiwai oleh kenikmatan manusiawi belaka, belum sampai ke spiritual atau rohani, demi keselamatan tubuh melulu belum sampai ke keselamatan jiwa. Sebagai orang beriman kita diharapkan senantiasa hidup dan bertindak demi keselamatan jiwa, dan dengan demikian ada kemungkinan kita harus mengalami banyak penderitaan, penderitaan phisik atau tubuh. Setia pada janji baptis, janji perkawinan, janji imamat atau kaul akan berbuahkan keselamatan jiwa, maka marilah kita setia atau konsekwen dengan apa yang pernah kita janjikan atau katakan dengan penuh bangga dan gembira tersebut.

·   "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi"(Kej 9:12-13). Busur sungguh tajam, maka siapapun yang kena busur pasti akan menderita sakit. Allah membuat perjanjian dengan bumi seisinya dengan perantaraan awan. Awan berada di tengah-tengah di antara bumi dan Allah yang berada di atas bumi. Dari awan dapat turun hujan/ air yang mengairi atau merasuki bumi. Maka karena busur Allah berada di awan dengan demikian di dalam air hujan yang merasuki bumi ada 'busur Allah'. Yang dimasudkan dengan busur Allah antara lain adalah keselamatan jiwa, maka dengan turunnya air hujan diharapkan terjadi keselamatan jiwa manusia di bumi, tentu saja ketika air hujan sungguh merasuki bumi. Namun apa yang terjadi masa kini adalah air hujan dihalang-halangi merasuki bumi dengan pembetonan tanah serta pembangunan rumah, hotel, losmen, villa dst.. yang tak mengindahkan keseimbangan lingkungan hidup. Akibatnya air hujan merusak dan menghancurkan bumi seisinya, termasuk manusia. Air hujan yang  bersih yang merasuki bumi menjadi komersial dan tidak sosial lagi. Bukankah semuanya itu menunjukkan bahwa tiada kesetiaan manusia di bumi terhadap perjanjian. Kepada nabi Nuh Allah memberi perintah untuk beranak-cucu, bukan merusak dan menghancurkan bumi. Maka meskipun jumlah manusia di bumi semakin banyak, ketika setiap manusia hidup sederhana, hemat saya tidak pernah ada yang kekurangan pangan atau makanan dan minuman. Gara-gara ada manusia yang berusaha menumpuk harta benda untuk tujuh turunan, maka banyak orang menderita, dan pada gilirannya keselamatan jiwa diabaikan.

 

"Bangsa-bangsa menjadi takut akan nama TUHAN, dan semua raja bumi akan kemuliaan-Mu, bila TUHAN sudah membangun Sion, sudah menampakkan diri dalam kemuliaan-Nya, sudah berpaling mendengarkan doa orang-orang yang bulus, dan tidak memandang hina doa mereka. Biarlah hal ini dituliskan bagi angkatan yang kemudian, dan bangsa yang diciptakan nanti akan memuji-muji TUHAN, sebab Ia telah memandang dari ketinggian-Nya yang kudus, TUHAN memandang dari sorga ke bumi untuk mendengar keluhan orang tahanan, untuk membebaskan orang-orang yang ditentukan mati dibunuh" (Mzm 102:16-21)

Jakarta, 17 Februari 2011


16 Feb - Kej 8:6-11.20-22; Mrk 8:22-26

"Sudahkah kaulihat sesuatu?"

(Kej 8:6-11.20-22; Mrk 8:22-26)

 

"Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Betsaida. Di situ orang membawa kepada Yesus seorang buta dan mereka memohon kepada-Nya, supaya Ia menjamah dia. Yesus memegang tangan orang buta itu dan membawa dia ke luar kampung. Lalu Ia meludahi mata orang itu dan meletakkan tangan-Nya atasnya, dan bertanya: "Sudahkah kaulihat sesuatu?" Orang itu memandang ke depan, lalu berkata: "Aku melihat orang, sebab melihat mereka berjalan-jalan, tetapi tampaknya seperti pohon-pohon." Yesus meletakkan lagi tangan-Nya pada mata orang itu, maka orang itu sungguh-sungguh melihat dan telah sembuh, sehingga ia dapat melihat segala sesuatu dengan jelas. Sesudah itu Yesus menyuruh dia pulang ke rumahnya dan berkata: "Jangan masuk ke kampung!" (Mrk 8:22-26), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   "Dapat melihat segala sesuatu dengan jelas" kiranya menjadi dambaan atau kerinduan semuanya orang dan tentu saja tidak hanya secara phisik tetapi juga spiritual. Agar kita dapat melihat dengan baik dan jelas kiranya butuh bantuan atau pertolongan orang lain dalam aneka kesempatan dan kemungkinan. Dalam kenyataan kita semua telah menerima bantuan orang lain, misalnya orangtua kita masing-masing, para guru, pastor/pendeta, dst.. yang mendidik dan mendampingi perjalanan hidup kita masing-masing. Dengan kata lain agar kita dapat melihat dengan jelas dan baik hemat saya perlu memiliki semangat belajar terus menerus atau membuka diri terhadap aneka kemungkinan dan kesempatan atau sentuhan dan sapaan orang lain sebagai kepanjangan sentuhan Tuhan. Ketika kita dapat melihat segala sesuatu dengan jelas kemudian kita dipanggil untuk 'pulang ke rumah kita masing-masing', artinya melaksanakan tugas pengutusan maupun menghayati panggilan seoptimal dan sebaik mungkin dengan pembekalan yang telah kita terima. Dalam cara hidup dan kerja kita diharapkan kita melihat dan mengimani karya Roh Kudus alias apa-apa yang baik, mulia, luhur dan indah dalam lingkungan hidup kita masing-masing. Jika masing-masing dari kita setia melaksanakan tugas pengutusan  atau menghayati panggilan kiranya kebersamaan hidup kita sungguh enak, mempesona dan menarik bagi orang lain. Kami berharap kepada para pelajar atau mahasiswa sungguh belajar dengan baik sehingga kelak kemudian hari dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan baik. Perdalam dan kuatkan semangat belajar anda: belajar dari apa yang diajarkan di sekolah/perguruan tinggi, belajar dari buku-buku yang baik, belajar dari aneka pengalaman pergaulan dst..

·   "Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam." (Kej 8:21-22), demikian firman Tuhan setelah menyaksikan kesetiaan iman Nuh dan keluarganya, setelah pemusnahan bumi dengan air  bah yang menenggelamkan seluruh muka bumi. Kita semua kiranya masih dapat menikmati apa yang disabdakan Tuhan tersebut, seperti  mengalami atau menikmati "menabur dan  menuai, dingin dan  panas, kemarau dan hujan, siang dan malam". Marilah kita nikmati semuanya itu, karena semuanya adalah anugerah Tuhan. Sebagai contoh: marilah kita nikmati kemarau dengan sinar mataharinya dan hujan dengan airnya yang segar. Menikmati air hujan antara lain membiarkan air hujan  meresap di tanah, sejak di pegunungan sampai dataran rendah, sehingga tidak terjadi banjir bandang di sana-sini. Maka baiklah di rumah atau tempat tinggal kita masing-masing diusahakan adanya resapan air hujan, sebagaimana pernah dilakukan dengan 'bio pori'. Sinar matahari hendaknya juga dinikmati dengan baik, antara lain membiarkan sinar matahari menerangi seluruh ciptaan di  bumi, entah manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Kami berharap kita tidak menjadi manja seperti panas sedikit saja lalu pakai payung, demikian juga gerimis sedikit saja pakai payung. Orang yang dengan mudah melindungi diri dengan 'payung' ini hemat saya akan mudah jatuh sakit. Nikmatilah air hujan dan sinar matahari jika anda mendambakan hidup sehat dan segar bugar baik secara phisik maupun spiritual.  Mudah menolak sinar matahari maupun air hujan berarti dengan mudah juga menolak sentuhan kasih Tuhan melalui saudara-saudari atau lingkungan hidup kita.

 

"Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama TUHAN, akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya. Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya"

(Mzm 116:12-15).

                     

Jakarta, 16 Februari 2011


Senin, 14 Februari 2011

15 Feb - Kej 6:5-8; 7:1-5.10; Mrk 8:14-21

"Telah degilkah hatimu?"

(Kej 6:5-8; 7:1-5.10; Mrk 8:14-21)

 

"Kemudian ternyata murid-murid Yesus lupa membawa roti, hanya sebuah saja yang ada pada mereka dalam perahu. Lalu Yesus memperingatkan mereka, kata-Nya: "Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes." Maka mereka berpikir-pikir dan seorang berkata kepada yang lain: "Itu dikatakan-Nya karena kita tidak mempunyai roti." Dan ketika Yesus mengetahui apa yang mereka perbincangkan, Ia berkata: "Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Belum jugakah kamu faham dan mengerti? Telah degilkah hatimu? Kamu mempunyai mata, tidakkah kamu melihat dan kamu mempunyai telinga, tidakkah kamu mendengar? Tidakkah kamu ingat lagi, pada waktu Aku memecah-mecahkan lima roti untuk lima ribu orang itu, berapa bakul penuh potongan-potongan roti kamu kumpulkan?" Jawab mereka: "Dua belas bakul." "Dan pada waktu tujuh roti untuk empat ribu orang itu, berapa bakul penuh potongan-potongan roti kamu kumpulkan?" Jawab mereka: "Tujuh bakul." Lalu kata-Nya kepada mereka: "Masihkah kamu belum mengerti?" (Mrk 8:14-21), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Para murid nampaknya masih bersikap mental materialistis, sehingga mereka tidak memahami apa yang disabdakan Yesus "Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes".  Apa yang dimaksudkan oleh Yesus dengan 'ragi' bukan secara phisik melainkan spiritual, yaitu kelicikan hati dan pikiran orang Farisi dan Herodes. Orang-orang pandai/pinter yang tidak beriman pada umumnya memang licik dan dengan mudah mengelabui atau membodohi rakyat kecil, yang kurang terdidik. Sabda Yesus di atas mengajak kita semua untuk memperdalam iman atau spiritualitas kita masing-masing agar mampu memahami dan menangkap serta kemudian menanggap aneka gejala atau peristiwa kehidupan baik dalam diri kita sendiri maupun orang lain dan lingkungan hidup kita. "Peka terhadap tanda-tanda zaman", itulah yang harus kita usahakan bersama-sama. Memang untuk itu kita harus rajin mawas diri atau melakukan pemeriksaan batin setiap hari. Pertama-tama hendaknya masing-masing dari kita mampu melihat, memahami dan menanggap aneka gejala atau peristiwa dalam tubuh kita masing-masing, dan secara khusus rekan-rekan perempuan dapat belajar aneka gejala sekitar peristiwa menstruasi atau datang bulan. Ketika kita peka terhadap apa yang terjadi dalam diri kita masing-masing, maka dengan mudah kita memahami dan menanggap aneka gejala dan peristiwa dalam lingkungan hidup kita maupun saudara-saudari kita. Kita juga membutuhkan keutamaan 'sabar' dalam mengusahakan kepekaan ini. "Sabar adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan kemampuan dalam mengendalikan gejolak diri dan tetap bertahan seperti keadaan semula dalam menghadapi berbagai rangsangan atau masalah" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24).


·    "Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka" (Kej 6:7), demikian firman Tuhan setelah menyaksikan kejahatan manusia di bumi yang merajalela. Firman Tuhan ini mungkin masa kini sudah mulai terlaksana dengan adanya pemanasan global, yang menimbulkan aneka bencana dan musibah karena keserakahan dan kejahatan manusia di bumi. Maka dengan ini kami mengingatkan dan mengajak mereka yang pada saat ini masih suka berbuat jahat atau melakukan keserakahan dalam aneka bidang kehidupan untuk bertobat atau memperbaharui diri, sehingga tidak menyakiti 'hati Tuhan'. Kami berharap kita semua hidup sederhana, karena dengan hidup sederhana kiranya dapat mengurangi atau memperlambat pemanasan global. Ingatlah dan hayati bahwa aneka macam penderitaan atau kesengsaraan yang terjadi di bumi ini karena kejahatan atau keserakahan umat manusia, seperti para pemalak hutan dengan seenaknya menebangi pohon demi keuntungan diri sendiri atau pembetonan tanah-tanah yang menjadi resapan air untuk usaha bisnis, dst… Kami berharap hidup sederhana dapat terjadi di dalam keluarga kita masing-masing, dan di dalam keluarga pendidikan atau pembinaan iman memperoleh perhatian yang memadai. Semoga bapak-ibu atau orangtua dapat menjadi contoh atau teladan dalam keserhanaan serta hidup spiritual atau rohani.

 

"Kepada TUHAN, hai penghuni sorgawi, kepada TUHAN sajalah kemuliaan dan kekuatan! Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya, sujudlah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan! Suara TUHAN di atas air, Allah yang mulia mengguntur, TUHAN di atas air yang besar. Suara TUHAN penuh kekuatan, suara TUHAN penuh semarak." (Mzm 29:1-4)

Jakarta, 15 Februari 2011


Minggu, 13 Februari 2011

14 Feb - Kej 4:1-15.25; Mrk 8:11-13

"Mengapa angkatan ini meminta tanda?"

(Kej 4:1-15.25; Mrk 8:11-13)

 

"Lalu muncullah orang-orang Farisi dan bersoal jawab dengan Yesus. Untuk mencobai Dia mereka meminta dari pada-Nya suatu tanda dari sorga. Maka mengeluhlah Ia dalam hati-Nya dan berkata: "Mengapa angkatan ini meminta tanda? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda." Ia meninggalkan mereka; Ia naik pula ke perahu dan bertolak ke seberang." (Mrk 8:11-13), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Sirilus, pertapa, dan St.Metodius, uskup, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Orang-orang Farisi pada umumnya lebih berpegang pada aneka aturan yang tertulis, dan kurang terbuka terhadap aneka kemungkinan yang muncul di luar jangkauan apa yang tertulis, maka dalam cara hidup dan cara bertindaknya pada umumnya kaku. Mereka kurang atau tidak terbuka pada Penyelenggaraan Ilahi, bisikan Roh Kudus dalam seluruh ciptaan Allah di dunia ini. Maka ketika mereka bersoal jawa dengan Yesus perihal 'tanda dari sorga', Yesus tak menanggapinya, karena pertanyaan mereka lebih bersifat mencobai Yesus. Hari ini kita kenangkan seorang pertapa dan seorang uskup, yang hemat kami dalam iman mereka penuh dengan Roh Kudus. Sebagai umat beriman kita semua kiranya juga percaya pada Penyelenggaraan Ilahi atau bisikan Roh Kudus di dalam hidup sehari-hari, maka marilah kita hayati iman kita tersebut. Mengimani Penyelenggaraan Ilahi berarti memiliki sikap terbuka terhadap aneka macam kemungkinan dan kesempatan untuk terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan kehendak Tuhan. Baiklah pertama-tama dan terutama kita lihat dan hayati Penyelenggaraan Ilahi dalam diri kita masing-masing, antara lain menganugerahi kehidupan dan daya bertumbuh dan berkembang atau berubah terus menerus. Rekan-rekan perempuan kiranya lebih dapat menghayati Penyelenggaraan Ilahi tersebut ketika sedang mengandung anak di dalam rahimnya. Jika kita mampu mengimani Penyelenggaraan Ilahi dalam diri kita yang lemah dan rapuh ini, maka dengan mudah kita mengimani Penyelenggaraan Ilahi dalam diri saudara-saudari kita maupun ciptaan Allah lainnya di dunia ini. Sabda hari ini juga mengingatkan kita semua agar tidak bersikap materialistis dalam cara hidup dan cara bertindak kita sehari-hari.


·   "Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN." (Kej  4:1), demikian kata Hawa ketika mengetahui dirinya mengandung setelah bersetubuh dengan Adam, suaminya. Kutipan ini kiranya baik menjadi bahan permenungan atau refleksi kita. Anak adalah anugerah Tuhan bagi suami-isteri yang saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tubuh, yang antara lain ditandai dengan persetubuhan atau hubungan seksual. Sebagai anugerah Tuhan anak-anak harus dididik dan dibesarkan di dalam Tuhan atau sebagaimana ditegaskan dalam Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Pendidikan hendaknya anak-anak dididik dalam semangat 'kebebasan dan cintakasih injili'. Bukankah anak ada karena cintakasih dan kebebasan suami-isteri, laki-laki dan perempuan? Bukankah cintakasih antar suami-isteri sungguh bebas dan tidak ada paksaan?  Maka selayaknya anak-anak yang lahir dalam kebebasan dan cintakasih kemudian dididik dan dibesarkan dalam kebebasan dan cintakasih juga. Memang tidak mudah mendidik atau mendampingi anak-anak dalam kebebasan dan cintakasih, mengingat dan memperhatikan cukup banyak orangtua masa kini lebih cenderung memaksa anak-anaknya untuk ini dan itu alias memproyeksikan dirinya pada anak-anaknya begitu saja. Sebagai contoh di kota-kota besar seperti Jakarta, entah karena situasi atau tuntutan, anak-anak kalau di rumah cenderung dikurung dan tidak boleh pergi kemana-mana, antara lain diberi kesibukan mainan computer atau aneka les privat. Anak-anak yang menjadi korban macam itu akan tumbuh berkembang menjadi pribadi yang egois dan kurang sosial atau peduli terhadap sesamanya maupun lingkungan hidupnya. Maka untuk mengimbangsi hal tersebut kami mengingatkan para orangtua atau bapak-ibu untuk mengusahakan waktu khusus bagi seluruh anggota keluarga untuk 'libur bersama'. 'Libur bersama' tidak perlu jauh-jauh dan mahal dan dapat dilakukan di tempat-tempat rekreasi di dalam kota dan sekitarnya. Beri kesempatan anak-anak untuk hidup dalam kebebasan dan cintakasih injili.

 

"Apakah urusanmu menyelidiki ketetapan-Ku, dan menyebut-nyebut perjanjian-Ku dengan mulutmu, padahal engkaulah yang membenci teguran, dan mengesampingkan firman-Ku" (Mzm 50:16b-17)

 

Jakarta, 14 Februari 2011

"HAPPY VALENTINE DAY"