"Siapa tidak bersama Aku ia melawan Aku"
(Yer 7:23-28; Luk 11;14-23)
"Pada suatu kali Yesus mengusir dari seorang suatu setan yang membisukan. Ketika setan itu keluar, orang bisu itu dapat berkata-kata. Maka heranlah orang banyak. Tetapi ada di antara mereka yang berkata: "Ia mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan." Ada pula yang meminta suatu tanda dari sorga kepada-Nya, untuk mencobai Dia. Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka lalu berkata: "Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa, dan setiap rumah tangga yang terpecah-pecah, pasti runtuh. Jikalau Iblis itu juga terbagi-bagi dan melawan dirinya sendiri, bagaimanakah kerajaannya dapat bertahan? Sebab kamu berkata, bahwa Aku mengusir setan dengan kuasa Beelzebul. Jadi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, dengan kuasa apakah pengikut-pengikutmu mengusirnya? Sebab itu merekalah yang akan menjadi hakimmu. Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu. Apabila seorang yang kuat dan yang lengkap bersenjata menjaga rumahnya sendiri, maka amanlah segala miliknya. Tetapi jika seorang yang lebih kuat dari padanya menyerang dan mengalahkannya, maka orang itu akan merampas perlengkapan senjata, yang diandalkannya, dan akan membagi-bagikan rampasannya. Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan." (Luk 11:14-13), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Jika ada anggota keluarga atau komunitas jarang bertemu dan berkumpul dengan saudara-saudarinya, pada umumnya yang bersangkutan memiliki masalah atau sulit untuk bekerjasama dengan saudara-saudarinya serta hanya mengikuti kemauan dan selera pribadi. Dengan kata lain orang yang demikian itu dapat menjadi sumber perpecahan atau permusuhan. "Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan", demikian sabda Yesus, yang mengajak dan mengingatkan kita semua untuk hidup bersaudara dan bersahabat dengan siapapun dan dimanapun, dan tentu saja pertama-tama dan terutama dengan mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama dengan kita. Maka marilah kita usahakan dan perdalam bersama persaudaraan atau persahabatan sejati. Ingatlah dan sadari bahwa laki-laki dan perempuan berbeda satu sama lain, namun demikian saling tertarik, tergerak untuk mendekat, bersahabat dan saling mengasihi, bahkan akhirnya ada yang siap sedia saling mengasihi sampai mati sebagai suami-isteri. Dengan kata lain apa yang berbeda menjadi daya tarik, daya pikat, daya pesona untuk saling mendekat dan mengasihi, membangun dan memperdalam persaudaraan atau persahabatan sejati. Untuk mengusahakan persaudaraan atau persahabatan, hendaknya pertama-tama dan terutama menghayati apa yang sama di antara kita secara mendalam, misalnya sama-sama manusia, sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama beriman, sama-sama warganegara, dst… Jika apa yang sama dihayati secara mendalam, maka apa yang berbeda akan menjadi daya tarik, daya pikat, daya pesona untuk memperdalam persaudaraan atau persahabatan sejati.
· "Sekalipun engkau mengatakan kepada mereka segala perkara ini, mereka tidak akan mendengarkan perkataanmu, dan sekalipun engkau berseru kepada mereka, mereka tidak akan menjawab engkau. Sebab itu, katakanlah kepada mereka: Inilah bangsa yang tidak mau mendengarkan suara TUHAN, Allah mereka, dan yang tidak mau menerima penghajaran! Ketulusan mereka sudah lenyap, sudah hapus dari mulut mereka."(Yer 7:27-28). Mungkin kita termasuk orang yang kurang mendengarkan 'suara Tuhan', sehingga cara hidup dan cara bertindak kita tidak mempesona, menarik dan memikat orang lain. Jika demikian adanya, marilah kita bertobat atau memperbaharui diri. Marilah pertama-sama kita saling mendengarkan, karena jika kita dengan mudah dapat mendengarkan suara saudara kita, maka kita juga akan memperoleh kemudahan untuk mendengarkan suara Tuhan. Mendengarkan membutuhkan keutamaan kerendahan hati, atau mendengarkan dan kerendahan hati bagaikan mata uang bermuka dua: orang yang dapat mendengarkan pada umumnya rendah hati, orang yang rendah hati pada umumnya mudah mendengarkan. "Rendah hati adalah sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Kami berharap keutamaan mendengarkan dan rendah hati ini sedini mungkin dibiasakan pada anak-anak dan tentu saja antara lain dengan teladan dari orangtua atau bapak-ibu. Mendengarkan dan rendah hati hendaknya juga menjadi perhatian di sekolah-sekolah.
"Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya! Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun, pada waktu nenek moyangmu mencobai Aku, menguji Aku, padahal mereka melihat perbuatan-Ku"
(Mzm 95:6-9)
Jakarta, 11 Maret 2010
0 komentar:
Posting Komentar