Mg Biasa XVI: Kej 18:1-10a; Kol 1:24-28; Luk 10:38-42
"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku
melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."
Ada seorang suster, sebut saja namanya "Sr.Marta", dikenal sebagai
suster yang senang bekerja keras serta membantu aneka kegiatan di
paroki. Pada suatu saat paroki dimana suster tersebut bekerja sedang
merayakan pesta ulang tahun paroki, dan untuk itu ia sungguh bekerja
keras membantu agar pesta ulang tahun paroki sukses, sehingga ia
kurang memperhatikan istirahat pribadi maupun makan dan minum. Ketika
ada sesuatu yang tak beres meledaklah kemarahan suster tersebut, dan
ternyata ledakan kemarahan tersebut merupakan ungkapan bahwa ia
sungguh marah karena sudah bekerja keras tak ada seorangpun yang
memberi pujian. Dengan kata lain segala usaha kerja keras dan bantuan
suster tersebut tak ada artinya sama sekali baik bagi dirinya sendiri
maupun orang lain dalam arti demi semakin beriman atau membaktikan
diri sepenuhnya kepada Allah. Begitulah yang sering terjadi dalam
kehidupan bersama: ada orang bekerja keras dan kelihatan begitu
social, tetapi itu hanya sandiwara belaka, karena yang dicari adalah
pujian dari sesamanya. Kerja keras tanpa senyuman dan keceriaan memang
dapat menjadi malapetaka. Marilah kita berrefleksi dengan cermin sabda
hari ini: pengalaman Marta atau pengalaman Maria?
"Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini
duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang
Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan,
tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani
seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."Tetapi Tuhan menjawabnya:
"Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak
perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian
yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya" (Luk 10:39-42)
Marta dan Maria sering menjadi symbol 'bekerja dan berdoa', 'ora et
labora', dan orang ada yang cenderung lebih mengutamakan bekerja
daripada berdoa atau sebaliknya lebih mengutamakan berdoa daripada
bekerja. Yang benar hemat saya adalah berdoa tidak dapat dipisahkan
dari bekerja atau sebaliknya bekerja tak dapat dipisahkan dari berdoa,
dan hanya dapat dibedakan. Dengan kata lain yang ideal, sebagaimana
diajarkan oleh St.Ignatius Loyola adalah 'menemukan Allah dalam segala
sesuatu' atau 'menghayati segala sesuatu dalam Allah' (contemplativus
in actione).
Marilah "memandang bagaimana Allah tinggal dalam ciptaan-ciptaanNya,
dalam unsur-unsur, memberi 'adanya'; dalam tumbuh-tumbuhan, memberi
daya tumbuh; dalam binatang-binatang, daya rasa; dalam manusia,
memberi pikiran; jadi Allah juga tinggal dalam aku, memberi aku ada,
hidup, berdaya rasa dan berpikiran. Bahkan dijadikan olehNya aku
bait-Nya, karena aku lebih diciptakan serupa dan menurut citra yang
Mahatinggi" (St.Ignatius Loyola: Latihan Rohani no 235). Pertama-tama
dan terutama marilah kita sadari dan hayati bahwa Allah tinggal dalam
diri kita yang lemah dan rapuh ini, sehingga kita 'ada, hidup, berdaya
rasa dan berpikiran'. Hidup atau mati adalah milik Allah, maka jika
kita masih hidup, berdaya rasa dan berpikiran tidak lain sungguh
merupakan karya Allah dalam dan melalui diri kita yang lemah dan rapuh
ini. Segala sesuatu adalah anugerah Allah ("everything is given"),
maka selayaknya kita senantiasa dimana pun dan kapan pun hidup dengan
penuh syukur dan terima kasih, rendah hati, tidak sombong.
Allah juga hidup dan berkarya dalam binatang dan tumbuh-tumbuhan atau
tanaman, maka marilah kita imani kehadiranNya dalam binatang dan
tanaman. Tentu saja iman ini harus menjadi nyata dalam perawatan
binatang maupun tanaman sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kata lain
marilah kita usahakan lingkungan hidup kita sungguh menarik, memikat
dan mempesona, karena banyak aneka tanaman dan binatang hidup dengan
baik. Jika lingkungan hidup baik kiranya juga enak untuk bekerja dan
berdoa, sehingga tidak ada yang mengeluh atau menggerutu. Semoga
semakin tekun bekerja anda juga semakin tekun berdoa, dan sebaliknya
semakin tekun berdoa juga semakin tekun bekerja. Janganlah memisahkan
kerja dan doa, melainkan integrasikan doa anda ke dalam kerja, doa
hendaknya menjiwai kerja dan kerja semakin memperdalam doa.
"Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan
menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus,
untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.Aku telah menjadi pelayan jemaat itu
sesuai dengan tugas yang dipercayakan Allah kepadaku untuk meneruskan
firman-Nya dengan sepenuhnya kepada kamu, yaitu rahasia yang
tersembunyi dari abad ke abad dan dari turunan ke turunan, tetapi yang
sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya." (Kol 1:24-26)
Kutipan ini sungguh merupakan sharing pengalaman iman Paulus yang
sangat mendalam, maka kiranya bagi kita yang beriman kepada Yesus
Kristus diajak atau dipanggil untuk meneladannya. Ingatlah, sadari dan
hayati bahwa beriman kepada Yesus Kristus hemat saya kita harus
meneladan kerendahan hatiNya sampai Ia rela menderita dan wafat di
kayu salib demi keselamatan umat manusia seluruh dunia, yang ada di
permukaan bumi ini. Penderitaan sebagai buah atau konsekwensi
kesetiaan hidup beriman adalah jalan atau wahana menuju ke kebahagiaan
atau keselamatan sejati, demi hidup baru sesuai dengan kehendak Allah.
Hemat saya rekan-rekan wanita atau perempuan yang pernah melahirkan
anaknya memiliki pengalaman mendalam perihal siap sedia menderita bagi
yang lain, yaitu ketika sedang melahirkan anaknya. Dalam dalam
kenyataan konkret pada umumnya rekan-rekan wanita atau perempuan lebih
kuat dalam penderitaan daripada laki-laki. Maka kami berharap
pengalaman anda dalam hal menderita bagi yang lain dibagikan atau
diwariskan kepada anak-anak anda, sehingga anak-anak kelak tumbuh
berkembang siap menderita demi kebahagiaan atau kesejahteraan orang
lain.
Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus kita dipaanggil untuk
meneruskan atau mewartakan firman-firman atau ajaran-ajaranNya, dan
hemat saya semua firman atau ajaranNya dapat dipadatkan dalam ajaran
untuk saling mengasihi sebagaimana Allah telah mengasihi kita.
Bukankah kasih Allah kepada kita ditandai dengan pengorbanan, dengan
mengutus Yesus Kristus, yang kemudian juga harus menderita dan wafat
demi keselamatan kita semua. Hidup saling mengasihi memang harus siap
sedia untuk saling berkorban, siap menderita demi yang terkasih. Kami
percaya para orangtua atau bapak ibu memiliki pengalaman mendalam
dalam hal berkorban dan menderita bagi anak-anak yang dianugerahkan
Allah kepada anda berdua. Cintakasih tanpa pengorbanan hemat saya
bukan cintakasih sejati, melainkan hanya pura-pura atau permainan
sandiwara belaka.
"Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya
lampaui hambamu ini. Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu dan
duduklah beristirahat di bawah pohon ini; biarlah kuambil sepotong
roti, supaya tuan-tuan segar kembali; kemudian bolehlah tuan-tuan
meneruskan perjalanannya; sebab tuan-tuan telah datang ke tempat
hambamu ini" (Kej 18:3-5). Kutipan ini adalah kata-kata utusan Allah
kepada Abraham, dan kiranya juga dapat menjadi pegangan bagi kita
semua, antara lain sebagai orang beriman hendaknya kita saling
membasuh kaki satu sama lain alias saling membersihkan. Marilah kita
saling memperhatikan dan membersihkan disertai dengan kerendahan hati
dan pengorbanan.
"Dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang
mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya, yang tidak menyebarkan
fitnah dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat terhadap temannya dan
yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya; yang memandang hina
orang yang tersingkir, tetapi memuliakan orang yang takut akan TUHAN"
(Mzm 15:2-4b)
Ign 21 Juli 2013
"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku
melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."
Ada seorang suster, sebut saja namanya "Sr.Marta", dikenal sebagai
suster yang senang bekerja keras serta membantu aneka kegiatan di
paroki. Pada suatu saat paroki dimana suster tersebut bekerja sedang
merayakan pesta ulang tahun paroki, dan untuk itu ia sungguh bekerja
keras membantu agar pesta ulang tahun paroki sukses, sehingga ia
kurang memperhatikan istirahat pribadi maupun makan dan minum. Ketika
ada sesuatu yang tak beres meledaklah kemarahan suster tersebut, dan
ternyata ledakan kemarahan tersebut merupakan ungkapan bahwa ia
sungguh marah karena sudah bekerja keras tak ada seorangpun yang
memberi pujian. Dengan kata lain segala usaha kerja keras dan bantuan
suster tersebut tak ada artinya sama sekali baik bagi dirinya sendiri
maupun orang lain dalam arti demi semakin beriman atau membaktikan
diri sepenuhnya kepada Allah. Begitulah yang sering terjadi dalam
kehidupan bersama: ada orang bekerja keras dan kelihatan begitu
social, tetapi itu hanya sandiwara belaka, karena yang dicari adalah
pujian dari sesamanya. Kerja keras tanpa senyuman dan keceriaan memang
dapat menjadi malapetaka. Marilah kita berrefleksi dengan cermin sabda
hari ini: pengalaman Marta atau pengalaman Maria?
"Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini
duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang
Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan,
tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani
seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."Tetapi Tuhan menjawabnya:
"Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak
perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian
yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya" (Luk 10:39-42)
Marta dan Maria sering menjadi symbol 'bekerja dan berdoa', 'ora et
labora', dan orang ada yang cenderung lebih mengutamakan bekerja
daripada berdoa atau sebaliknya lebih mengutamakan berdoa daripada
bekerja. Yang benar hemat saya adalah berdoa tidak dapat dipisahkan
dari bekerja atau sebaliknya bekerja tak dapat dipisahkan dari berdoa,
dan hanya dapat dibedakan. Dengan kata lain yang ideal, sebagaimana
diajarkan oleh St.Ignatius Loyola adalah 'menemukan Allah dalam segala
sesuatu' atau 'menghayati segala sesuatu dalam Allah' (contemplativus
in actione).
Marilah "memandang bagaimana Allah tinggal dalam ciptaan-ciptaanNya,
dalam unsur-unsur, memberi 'adanya'; dalam tumbuh-tumbuhan, memberi
daya tumbuh; dalam binatang-binatang, daya rasa; dalam manusia,
memberi pikiran; jadi Allah juga tinggal dalam aku, memberi aku ada,
hidup, berdaya rasa dan berpikiran. Bahkan dijadikan olehNya aku
bait-Nya, karena aku lebih diciptakan serupa dan menurut citra yang
Mahatinggi" (St.Ignatius Loyola: Latihan Rohani no 235). Pertama-tama
dan terutama marilah kita sadari dan hayati bahwa Allah tinggal dalam
diri kita yang lemah dan rapuh ini, sehingga kita 'ada, hidup, berdaya
rasa dan berpikiran'. Hidup atau mati adalah milik Allah, maka jika
kita masih hidup, berdaya rasa dan berpikiran tidak lain sungguh
merupakan karya Allah dalam dan melalui diri kita yang lemah dan rapuh
ini. Segala sesuatu adalah anugerah Allah ("everything is given"),
maka selayaknya kita senantiasa dimana pun dan kapan pun hidup dengan
penuh syukur dan terima kasih, rendah hati, tidak sombong.
Allah juga hidup dan berkarya dalam binatang dan tumbuh-tumbuhan atau
tanaman, maka marilah kita imani kehadiranNya dalam binatang dan
tanaman. Tentu saja iman ini harus menjadi nyata dalam perawatan
binatang maupun tanaman sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kata lain
marilah kita usahakan lingkungan hidup kita sungguh menarik, memikat
dan mempesona, karena banyak aneka tanaman dan binatang hidup dengan
baik. Jika lingkungan hidup baik kiranya juga enak untuk bekerja dan
berdoa, sehingga tidak ada yang mengeluh atau menggerutu. Semoga
semakin tekun bekerja anda juga semakin tekun berdoa, dan sebaliknya
semakin tekun berdoa juga semakin tekun bekerja. Janganlah memisahkan
kerja dan doa, melainkan integrasikan doa anda ke dalam kerja, doa
hendaknya menjiwai kerja dan kerja semakin memperdalam doa.
"Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan
menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus,
untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.Aku telah menjadi pelayan jemaat itu
sesuai dengan tugas yang dipercayakan Allah kepadaku untuk meneruskan
firman-Nya dengan sepenuhnya kepada kamu, yaitu rahasia yang
tersembunyi dari abad ke abad dan dari turunan ke turunan, tetapi yang
sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya." (Kol 1:24-26)
Kutipan ini sungguh merupakan sharing pengalaman iman Paulus yang
sangat mendalam, maka kiranya bagi kita yang beriman kepada Yesus
Kristus diajak atau dipanggil untuk meneladannya. Ingatlah, sadari dan
hayati bahwa beriman kepada Yesus Kristus hemat saya kita harus
meneladan kerendahan hatiNya sampai Ia rela menderita dan wafat di
kayu salib demi keselamatan umat manusia seluruh dunia, yang ada di
permukaan bumi ini. Penderitaan sebagai buah atau konsekwensi
kesetiaan hidup beriman adalah jalan atau wahana menuju ke kebahagiaan
atau keselamatan sejati, demi hidup baru sesuai dengan kehendak Allah.
Hemat saya rekan-rekan wanita atau perempuan yang pernah melahirkan
anaknya memiliki pengalaman mendalam perihal siap sedia menderita bagi
yang lain, yaitu ketika sedang melahirkan anaknya. Dalam dalam
kenyataan konkret pada umumnya rekan-rekan wanita atau perempuan lebih
kuat dalam penderitaan daripada laki-laki. Maka kami berharap
pengalaman anda dalam hal menderita bagi yang lain dibagikan atau
diwariskan kepada anak-anak anda, sehingga anak-anak kelak tumbuh
berkembang siap menderita demi kebahagiaan atau kesejahteraan orang
lain.
Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus kita dipaanggil untuk
meneruskan atau mewartakan firman-firman atau ajaran-ajaranNya, dan
hemat saya semua firman atau ajaranNya dapat dipadatkan dalam ajaran
untuk saling mengasihi sebagaimana Allah telah mengasihi kita.
Bukankah kasih Allah kepada kita ditandai dengan pengorbanan, dengan
mengutus Yesus Kristus, yang kemudian juga harus menderita dan wafat
demi keselamatan kita semua. Hidup saling mengasihi memang harus siap
sedia untuk saling berkorban, siap menderita demi yang terkasih. Kami
percaya para orangtua atau bapak ibu memiliki pengalaman mendalam
dalam hal berkorban dan menderita bagi anak-anak yang dianugerahkan
Allah kepada anda berdua. Cintakasih tanpa pengorbanan hemat saya
bukan cintakasih sejati, melainkan hanya pura-pura atau permainan
sandiwara belaka.
"Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya
lampaui hambamu ini. Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu dan
duduklah beristirahat di bawah pohon ini; biarlah kuambil sepotong
roti, supaya tuan-tuan segar kembali; kemudian bolehlah tuan-tuan
meneruskan perjalanannya; sebab tuan-tuan telah datang ke tempat
hambamu ini" (Kej 18:3-5). Kutipan ini adalah kata-kata utusan Allah
kepada Abraham, dan kiranya juga dapat menjadi pegangan bagi kita
semua, antara lain sebagai orang beriman hendaknya kita saling
membasuh kaki satu sama lain alias saling membersihkan. Marilah kita
saling memperhatikan dan membersihkan disertai dengan kerendahan hati
dan pengorbanan.
"Dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang
mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya, yang tidak menyebarkan
fitnah dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat terhadap temannya dan
yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya; yang memandang hina
orang yang tersingkir, tetapi memuliakan orang yang takut akan TUHAN"
(Mzm 15:2-4b)
Ign 21 Juli 2013
0 komentar:
Posting Komentar