Mg Biasa XIV: Yes 66:10-14c; Gal 6:14-18; Luk 10:1-12.17-20
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah
kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja
untuk tuaian itu"
Kwantitas maupun kwalitas imam, bruder dan suster sungguh mengalami
kemerosotan, sebagai dampak kemerosotan moral hampir di semua bidang
kehidupan masa kini. Di Indonesia sendiri hemat saya kemerosotan itu
terjadi sebagai dampak Gerakan Keluarga Berencana, yang difahami dan
dihayati secara sempit, yaitu secara ekonomis atau duniawi belaka.
Ketakutan ledakan jumlah penduduk yang kemudian berkembang menjadi
motto "Dua Anak Cukup" berdampak pada semangat atau sikap mental
materialistis atau duniawi para orangtua, yang kemudian diwariskan
kepada anak-anaknya. Sikap mental materialistis ini disuburkan dan
diperkembang-kan oleh situasi lingkungan maupun sarana-prasarana
digital yang menggiring orang bersikap mental 'pengumpul' dan instan.
Panggilan hidup imamat maupun membiara mengalami kemerosotan juga
disebabkan oleh para imam, bruder atau suster sendiri yang tak dapat
menjadi saksi atas panggilannya, dengan kata lain kurang menarik,
memikat dan mempesona bagi Umat Allah. Sabda hari ini mengajak dan
mengingatkan kita semua untuk 'promosi panggilan' atau berdoa bagi
para imam, bruder maupun suster serta bagi anak-anak dan generasi muda
semoga terpanggil menjadi imam. bruder atau suster.
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah
kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja
untuk tuaian itu" (Luk 10:2)
Pertama-tama dan terutama kami mengajak dan mengingatkan rekan-rekan
imam, bruder maupun suster untuk dapat menjadi saksi hidup terpanggil
yang handal, sehingga cara hidup dan cara bertindaknya mempesona,
memikat dan menarik. Untuk itu diharapkan rekan-rekan imam, bruder dan
suster setia dalam penghayatan spiritualitas pendiri, dengan
menghayati atau melaksanakan aneka aturan dan tata tertib yang terkait
dengan lembaga atau panggilan masing-masing. Keceriaan dan kegembiraan
serta kegairahan hidup terpanggil dalam situasi dan kondisi macam
apapun merupakan wahana promosi panggilan. Salah satu tantangan
penghayatan panggilan masa kini adalah hidup dan bertindak sederhana,
dan sebagai yang terpanggil kiranya dapat meneladan semangat Paus
Fransiskus.
Peranan keluarga dalam promosi panggilan sungguh penting. Pengamatan
dan pengalaman kami: rekan-rekan imam, bruder atau suster yang cukup
baik dan handal dalam penghayatan panggilan maupun pelaksanaan tugas
pengutusan berasal dari keluarga dimana benih-benih panggilan telah
disemai dengan baik. Pembinaan social atau kepekaan terhadap orang
lain bagi anak-anak merupakan salah satu usaha yang baik untuk
dilakukan di dalam keluarga: didik dan dampingi anak-anak untuk
menjadi orang bagi yang lain ("to be man/woman for/with others").
Kadersasi sedini mungkin juga perlu diusahakan, yaitu 'fungsikan
anak-anak sedini mungkin sesuai dengan kemampuan dan kemungkinan di
dalam keluarga', misalnya anak-anak dilatih dan dibina mengerjakan
tugas sehari-hari seperti menyapu, mematikan lampu, melipat selimut,
mencuci pakaiannya sendiri, dst.. Yang tak kalah penting adalah doa
bersama di dalam keluarga untuk mendoakan para imam, bruder dan
suster.
Apa yang telah diusahakan di dalam keluarga hendaknya diperkembangkan
dan diperluas serta diperdalam di dalam sekolah maupun aneka paguyuban
kemasyarakatan maupun agama. Dewan paroki kami harapkan memberi
perhatian pembinaan bagi anak-anak dan generasi muda secara memadai.
Salah satu bentuk pembinaan yang mendukung panggilan, entah dilakukan
oleh sekolah atau paroki, adalah 'live in', yaitu untuk beberapa hati
tinggal dan bekerja bersama dengan mereka yang miskin dan
berkekurangan di desa-desa atau pegunungan, guna melatih anak-anak
atau generasi muda mengalami sendiri 'dunia nyata'. Pengaruh digital
seperti internet maupun HP telah mencabut anak-anak dari 'dunia nyata'
ke 'dunia maya' serta mendorong ke arah sikap mental sebagai
'pengumpul'. Mendidik berasal dari kata Latin 'educare', yang antara
lain berarti 'menuntun ke luar'; maka marilah anak-anak, peserta
didik, generasi muda kita 'tuntun ke luar' guna melihat, mencermati
dan mengalami 'dunia nyata', sehingga mereka dapat 'belajar menjadi'
(learning to be), maupun belajar bekerja (learning to do). Sekali
waktu baiklah anak-anak atau generasi muda diajak berkunjung ke
Seminari atau Novisiat, sebagaimana juga terjadi di Seminari Menengah
Mertoyudan-Magelang.
"Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita
Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku
bagi dunia. Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya,
tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya. Dan semua orang,
yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai
sejahtera dan rahmat atas mereka dan atas Israel milik Allah.
Selanjutnya janganlah ada orang yang menyusahkan aku, karena pada
tubuhku ada tanda-tanda milik Yesus.Kasih karunia Tuhan kita Yesus
Kristus menyertai roh kamu, saudara-saudara!" (Gal 6:14-18)
Pengalaman iman Paulus di atas ini kiranya merupakan bahan permenungan
atau refleksi yang baik bagi kita semua, umat beriman. "Bermegah dalam
salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan
bagiku dan aku bagi dunia", inilah yang kiranya baik kita renungkan
atau refleksikan. Bagi kita semua berarti ajakan untuk senantiasa
berusaha memikirkan apa yang dipikirkan Allah, merasakan apa yang
dirasakan Allah serta mengerjakan apa yang dikerjakan Allah. Mengingat
dan memperhatikan situasi dan kondisi masa kini hidup dan bertindak
seperti itu kiranya tak akan lepas dari aneka macam bentuk penderitaan
dan perjuangan maupun pengorbanan.
Pengalaman kecewa, gagal atau tidak berhasil dalam usaha/belajar hemat
saya merupakan pengalaman sangat berharga. Sebagai orang yang beriman
kepada Yesus Kristus kita dapat 'melihat' bahwa secara manusiawi Yesus
gagal karena harus wafat di kayu salib. Saya kira kita semua juga
dapat mengenangkan para pahlawan atau pejuang kemerdekaan Negara kita,
yang telah gugur dalam perjuangan. Bukankah mereka boleh dikatakan
gagal dalam berjuang, tak dapat menikmati hasil perjuangannya? Tetapi
generasi penerusnya yang menikmati hasil perjuangan dan pengorbanan
mereka. Kita semua hemat saya adalah penerus-penerus para pendahulu
kita yang telah berjuang dan berkorban, maka hendaknya kita jangan
hanya menikmati hasil perjuangan dan pengorbanan mereka, melainkan
hendaknya juga mewarisi perjuangan dan pengorbanan mereka.
Kita semua mendambakan hidup damai sejahtera baik secara fisik maupun
spiritual, jasmani maupun rohani. Tak jemu-jemunya saya mengangkat
peribahasa Jawa "Jer basuki mowo beyo" , yang berarti hidup mulia dan
damai sejahtera harus diusahakan dengan pengorbanan dan perjuangan.
Semoga orangtua tidak memanjakan anak-anaknya dengan dan melalui aneka
cara dan bentuk. Memanjakan anak-anak berarti mencelakakan masa depan
anak maupun orangtua sendiri di masa tua/lansianya. Pengalaman
menunjukkan bahwa warisan harta benda atau uang kepada anak-anak tidak
akan membahagiakan atau menyelamatkan, melainkan menyengsarakan.
Wariskan kepada anak-anak anda nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan
hidup yang menyelamatkan dan membahagiakan, terutama keselamatan atau
kebahagiaan jiwa.
"Seluruh bumi sujud menyembah kepada-Mu, dan bermazmur bagi-Mu,
memazmurkan nama-Mu." Pergilah dan lihatlah pekerjaan-pekerjaan Allah;
Ia dahsyat dalam perbuatan-Nya terhadap manusia: Ia mengubah laut
menjadi tanah kering, dan orang-orang itu berjalan kaki menyeberangi
sungai. Oleh sebab itu kita bersukacita karena Dia,yang memerintah
dengan perkasa untuk selama-lamanya, yang mata-Nya mengawasi
bangsa-bangsa."
(Mzm 66:4-7a)
Ign 7 Juli 2013
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah
kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja
untuk tuaian itu"
Kwantitas maupun kwalitas imam, bruder dan suster sungguh mengalami
kemerosotan, sebagai dampak kemerosotan moral hampir di semua bidang
kehidupan masa kini. Di Indonesia sendiri hemat saya kemerosotan itu
terjadi sebagai dampak Gerakan Keluarga Berencana, yang difahami dan
dihayati secara sempit, yaitu secara ekonomis atau duniawi belaka.
Ketakutan ledakan jumlah penduduk yang kemudian berkembang menjadi
motto "Dua Anak Cukup" berdampak pada semangat atau sikap mental
materialistis atau duniawi para orangtua, yang kemudian diwariskan
kepada anak-anaknya. Sikap mental materialistis ini disuburkan dan
diperkembang-kan oleh situasi lingkungan maupun sarana-prasarana
digital yang menggiring orang bersikap mental 'pengumpul' dan instan.
Panggilan hidup imamat maupun membiara mengalami kemerosotan juga
disebabkan oleh para imam, bruder atau suster sendiri yang tak dapat
menjadi saksi atas panggilannya, dengan kata lain kurang menarik,
memikat dan mempesona bagi Umat Allah. Sabda hari ini mengajak dan
mengingatkan kita semua untuk 'promosi panggilan' atau berdoa bagi
para imam, bruder maupun suster serta bagi anak-anak dan generasi muda
semoga terpanggil menjadi imam. bruder atau suster.
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah
kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja
untuk tuaian itu" (Luk 10:2)
Pertama-tama dan terutama kami mengajak dan mengingatkan rekan-rekan
imam, bruder maupun suster untuk dapat menjadi saksi hidup terpanggil
yang handal, sehingga cara hidup dan cara bertindaknya mempesona,
memikat dan menarik. Untuk itu diharapkan rekan-rekan imam, bruder dan
suster setia dalam penghayatan spiritualitas pendiri, dengan
menghayati atau melaksanakan aneka aturan dan tata tertib yang terkait
dengan lembaga atau panggilan masing-masing. Keceriaan dan kegembiraan
serta kegairahan hidup terpanggil dalam situasi dan kondisi macam
apapun merupakan wahana promosi panggilan. Salah satu tantangan
penghayatan panggilan masa kini adalah hidup dan bertindak sederhana,
dan sebagai yang terpanggil kiranya dapat meneladan semangat Paus
Fransiskus.
Peranan keluarga dalam promosi panggilan sungguh penting. Pengamatan
dan pengalaman kami: rekan-rekan imam, bruder atau suster yang cukup
baik dan handal dalam penghayatan panggilan maupun pelaksanaan tugas
pengutusan berasal dari keluarga dimana benih-benih panggilan telah
disemai dengan baik. Pembinaan social atau kepekaan terhadap orang
lain bagi anak-anak merupakan salah satu usaha yang baik untuk
dilakukan di dalam keluarga: didik dan dampingi anak-anak untuk
menjadi orang bagi yang lain ("to be man/woman for/with others").
Kadersasi sedini mungkin juga perlu diusahakan, yaitu 'fungsikan
anak-anak sedini mungkin sesuai dengan kemampuan dan kemungkinan di
dalam keluarga', misalnya anak-anak dilatih dan dibina mengerjakan
tugas sehari-hari seperti menyapu, mematikan lampu, melipat selimut,
mencuci pakaiannya sendiri, dst.. Yang tak kalah penting adalah doa
bersama di dalam keluarga untuk mendoakan para imam, bruder dan
suster.
Apa yang telah diusahakan di dalam keluarga hendaknya diperkembangkan
dan diperluas serta diperdalam di dalam sekolah maupun aneka paguyuban
kemasyarakatan maupun agama. Dewan paroki kami harapkan memberi
perhatian pembinaan bagi anak-anak dan generasi muda secara memadai.
Salah satu bentuk pembinaan yang mendukung panggilan, entah dilakukan
oleh sekolah atau paroki, adalah 'live in', yaitu untuk beberapa hati
tinggal dan bekerja bersama dengan mereka yang miskin dan
berkekurangan di desa-desa atau pegunungan, guna melatih anak-anak
atau generasi muda mengalami sendiri 'dunia nyata'. Pengaruh digital
seperti internet maupun HP telah mencabut anak-anak dari 'dunia nyata'
ke 'dunia maya' serta mendorong ke arah sikap mental sebagai
'pengumpul'. Mendidik berasal dari kata Latin 'educare', yang antara
lain berarti 'menuntun ke luar'; maka marilah anak-anak, peserta
didik, generasi muda kita 'tuntun ke luar' guna melihat, mencermati
dan mengalami 'dunia nyata', sehingga mereka dapat 'belajar menjadi'
(learning to be), maupun belajar bekerja (learning to do). Sekali
waktu baiklah anak-anak atau generasi muda diajak berkunjung ke
Seminari atau Novisiat, sebagaimana juga terjadi di Seminari Menengah
Mertoyudan-Magelang.
"Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita
Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku
bagi dunia. Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya,
tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya. Dan semua orang,
yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai
sejahtera dan rahmat atas mereka dan atas Israel milik Allah.
Selanjutnya janganlah ada orang yang menyusahkan aku, karena pada
tubuhku ada tanda-tanda milik Yesus.Kasih karunia Tuhan kita Yesus
Kristus menyertai roh kamu, saudara-saudara!" (Gal 6:14-18)
Pengalaman iman Paulus di atas ini kiranya merupakan bahan permenungan
atau refleksi yang baik bagi kita semua, umat beriman. "Bermegah dalam
salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan
bagiku dan aku bagi dunia", inilah yang kiranya baik kita renungkan
atau refleksikan. Bagi kita semua berarti ajakan untuk senantiasa
berusaha memikirkan apa yang dipikirkan Allah, merasakan apa yang
dirasakan Allah serta mengerjakan apa yang dikerjakan Allah. Mengingat
dan memperhatikan situasi dan kondisi masa kini hidup dan bertindak
seperti itu kiranya tak akan lepas dari aneka macam bentuk penderitaan
dan perjuangan maupun pengorbanan.
Pengalaman kecewa, gagal atau tidak berhasil dalam usaha/belajar hemat
saya merupakan pengalaman sangat berharga. Sebagai orang yang beriman
kepada Yesus Kristus kita dapat 'melihat' bahwa secara manusiawi Yesus
gagal karena harus wafat di kayu salib. Saya kira kita semua juga
dapat mengenangkan para pahlawan atau pejuang kemerdekaan Negara kita,
yang telah gugur dalam perjuangan. Bukankah mereka boleh dikatakan
gagal dalam berjuang, tak dapat menikmati hasil perjuangannya? Tetapi
generasi penerusnya yang menikmati hasil perjuangan dan pengorbanan
mereka. Kita semua hemat saya adalah penerus-penerus para pendahulu
kita yang telah berjuang dan berkorban, maka hendaknya kita jangan
hanya menikmati hasil perjuangan dan pengorbanan mereka, melainkan
hendaknya juga mewarisi perjuangan dan pengorbanan mereka.
Kita semua mendambakan hidup damai sejahtera baik secara fisik maupun
spiritual, jasmani maupun rohani. Tak jemu-jemunya saya mengangkat
peribahasa Jawa "Jer basuki mowo beyo" , yang berarti hidup mulia dan
damai sejahtera harus diusahakan dengan pengorbanan dan perjuangan.
Semoga orangtua tidak memanjakan anak-anaknya dengan dan melalui aneka
cara dan bentuk. Memanjakan anak-anak berarti mencelakakan masa depan
anak maupun orangtua sendiri di masa tua/lansianya. Pengalaman
menunjukkan bahwa warisan harta benda atau uang kepada anak-anak tidak
akan membahagiakan atau menyelamatkan, melainkan menyengsarakan.
Wariskan kepada anak-anak anda nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan
hidup yang menyelamatkan dan membahagiakan, terutama keselamatan atau
kebahagiaan jiwa.
"Seluruh bumi sujud menyembah kepada-Mu, dan bermazmur bagi-Mu,
memazmurkan nama-Mu." Pergilah dan lihatlah pekerjaan-pekerjaan Allah;
Ia dahsyat dalam perbuatan-Nya terhadap manusia: Ia mengubah laut
menjadi tanah kering, dan orang-orang itu berjalan kaki menyeberangi
sungai. Oleh sebab itu kita bersukacita karena Dia,yang memerintah
dengan perkasa untuk selama-lamanya, yang mata-Nya mengawasi
bangsa-bangsa."
(Mzm 66:4-7a)
Ign 7 Juli 2013
0 komentar:
Posting Komentar