"Sama seperti terjadi pada zaman Nuh"
(Keb 13:1-9; Luk 17:26-37)
"Dan sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia: mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua. Demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot: mereka makan dan minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun. Tetapi pada hari Lot pergi keluar dari Sodom turunlah hujan api dan hujan belerang dari langit dan membinasakan mereka semua. Demikianlah halnya kelak pada hari, di mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya. Barangsiapa pada hari itu sedang di peranginan di atas rumah dan barang-barangnya ada di dalam rumah, janganlah ia turun untuk mengambilnya, dan demikian juga orang yang sedang di ladang, janganlah ia kembali. Ingatlah akan isteri Lot! Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya. Aku berkata kepadamu: Pada malam itu ada dua orang di atas satu tempat tidur, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan. Ada dua orang perempuan bersama-sama mengilang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan." [Kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan.] Kata mereka kepada Yesus: "Di mana, Tuhan?" Kata-Nya kepada mereka: "Di mana ada mayat, di situ berkerumun burung nasar."(Luk 17:26-37), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Kenangan 'zaman Nuh' berarti kenangan akan musibah air bah yang menghanyutkan apa yang ada di permukaan bumi, dan hanya mereka yang peka dan melaksanakan perintah Tuhan dalam hidup sehari-hari, seperti Nuh, yang selamat dari musibah air bah tersebut. Dengan kata lain mereka yang selamat adalah 'yang kehilangan nyawanya', artinya hidup dan bertindak tidak mengikuti selera atau keinginan pribadi, melainkan kehendak dan perintah Tuhan. Berbagai musibah atau bencana alam sering terjadi di bumi ini, juga di Indonesia, yang memakan banyak korban meninggal dunia. Maka marilah kita siapkan diri kita untuk menghadapi aneka kemungkinan yang juga dapat menimpa kita sewaktu-waktu. Persiapan yang baik antara lain kita setia pada panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing, tidak menyeleweng, berselingkuh atau mangkir dalam bentuk apapun. "Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Sebagai orang yang telah dibaptis kiranya kita layak mawas diri perihal janji baptis, yang mendasari hidup menggereja atau beriman kita, dimana kita berjanji hanya mau mengabdi Tuhan saja dan menolak semua godaan setan. Godaan setan antara lain menggejala dalam bentuk 'harta benda/ uang, jabatan/kedudukan/pangkat dan kehormatan duniawi'. Kasus dua anggota pimpinan KPK non aktif yang menyita banyak waktu dan tenaga hari-hari kemarin itu hemat saya berkisar dalam masalah 'harta benda/uang, keududukan/jabatan/pangkat dan kedudukan duniawi'. Ada yang gila akan godaan-godaan tersebut sehingga dikuasainya. Hal itu kiranya mengganggu hidup, kerja dan pelayanan sehari-hari.
· "Sungguh tolol karena kodratnya semua orang yang tidak mengenal Allah sama sekali; dan mereka tidak mampu mengenal Dia yang ada dari barang-barang yang kelihatan, dan walaupun berhadapan dengan pekerjaan-Nya mereka tidak mengenal Senimannya."(Keb 13:1). Kutipan ini selayaknya menjadi permenungan atau refleksi kita. Kita diajak untuk mengenal Allah 'yang ada dari barang-barang yang kelihatan'. Semua barang yang kelihatan di dunia ini adalah ciptaan Allah bekerjasama dengan manusia yang diciptakan sesuai dengan gambar atau citraNya. Jika kita dapat mengenal Allah dari dan melalui barang-barang yang kelihatan, buatan atau hasil karya manusia, maka kita akan siap sedia dan tanggap terhadap aneka kemungkinan dan kesempatan yang akan terjadi. Dengan kata lain percaya kepada Allah berarti juga percaya kepada sesamanya, yang terbiasa percaya kepada sesamanya akan mudah percaya kepada Allah, Penyelenggaraan Ilahi. Memang untuk itu kita harus berani membuka hati, budi dan jiwa kita serta terus-menerus mendengarkan dan melihat karya Allah dalam ciptaan-ciptaanNya. Hendaknya kita juga percaya pada Allah yang hidup dan berkarya dalam diri kita yang lemah dan rapuh ini, yang menganugerahi pertumbuhan dan perkembangan yang menggairahkan. Percaya pada Penyelenggaraan Ilahi dalam diri kita sendiri merupakan kekuatan dan landasan untuk percaya dan mengenal Allah melalui atau dalam barang-barang yang kelihatan.
"Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam.Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari" (Mzm 19:2-5)
Jakarta, 13 November 2009
0 komentar:
Posting Komentar