"Barangsiapa terbesar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu"
(Yes 1:10.16-20; Mat 23:1-12)
"Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi. Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Mat 23:1-12), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Di dalam masa Orde Baru ada rumor "mengabdi Negara atau mengabdi rakyat", maksudnya dengan mengabdi Negara adalah mengabdi kepala Negara yang hanya satu itu, sedangkan mengabdi rakyat berarti mengabdi jutaan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Para pemimpin di tingkat manapun pada masa itu cenderung untuk mengabdi satu orang saja, yaitu kepala Negara, dan kurang memperhatikan rakyat atau orang kebanyakan. Di Era Reformasi atau Demokrasi saat ini siapapun yang menjadi pemimpin atau pembesar diharapkan mengabdi rakyat alias sungguh mengutamakan kesejahteraan rakyat., dan untuk itu memang harus dengan semangat pelayanan dalam menghayati kepemimpinan. Sayang akhir-akhir ini semangat pelayanan tersebut rasanya kurang memperoleh perhatian dengan adanya pembelian mobil yang cukup mahal untuk para pemimpin, yaitu para menteri dan mungkin juga para gubernur dan bupati. Bagaimanapun hal itu memberi kesan lebih mengutamakan kepentingan sendiri daripada kepentingan rakyat/umum. Hal senada juga sering dilakukan oleh para direktur atau pejabat baru: belum bekerja dan belum menghasilkan apa-apa sudah minta fasilitas mewah, entah ruang kerja atau kendaraan, untuk pribadi. Kami berharap siapapun yang merasa menjadi pemimpin di tingkat apapun untuk menghayati kepemimpinannya dengan melayani atau mengabdi. Melayani berarti lebih mengutamakan dan membahagiakan mereka yang harus dilayani. Tanda keberhasilan seorang pemimpin antara lain yang dipimpin atau dilayani hidup sejahtera, damai, sehat lahir dan batin. Kami berseru kepada dan mengingatkan para pejabat pemerintahan di tingkat apapun untuk sungguh melayani rakyat atau yang dipimpin, karena imbal jasa atau kesejahteraan anda berasal dari rakyat, antara lain melalui pajak. Para orangtua hendaknya sungguh memperhatikan anak-anaknya, antara lain dengan mengalokasikan tenaga dan dana yang memadai bagi pendidikan anak-anaknya.
· "Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!"(Yes 1:16-17). Seruan Yesaya ini kiranya baik untuk kita renungkan dan hayati. Seruannya cukup jelas: tidak berbuat jahat dan belajar berbuat baik, mengusahakan keadilan dst…Yang umum alias berlaku bagi kita semua adalah berhenti berbuat jahat dan kemudian belajar berbuat baik terus menerus. Perintah untuk mengusahakan keadilan rasanya lebih terarah kepada para pengusaha atau siapapun yang mempekerjakan orang: hendaknya memberi imbal jasa atau upah yang adil; sedangkan perintah untuk mengendalikan kekejaman kiranya terarah kepada para orangtua, guru, penegak hukum di tingkat manapun: hendaknya tidak kejam terhadap anak-anak, peserta didik, pesakitan, yang bodoh, dst… Di beberapa tempat janda sering menjadi bahan omongan atau gunjingan, yang secara de fakto sebenarnya melecehkan sang janda yang bersangkutan, entah dengan tuduhan atau kecurigaaan menyeleweng atau menjual diri atau yang lain. Para janda pada umumnya merasa kesepian setelah ditinggal suaminya, maka kalau dilecehkan berarti semakin memperberat derita dan kesepiannya. Marilah kita senantiasa berbuat baik keapda dan menghormati sesama manusia dimanapun dan kapanpun, sedangkan yang masih berbuat jahat kami harapkan bertobat.
"Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku; siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." (Mzm 50:23)
Jakarta, 2 Maret 2010
0 komentar:
Posting Komentar